Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Komunikasi elektronik merupakan kontak seketika dan ilusi yang menciptakan rasa keakraban tanpa investasi emosi yang mengarah kepada persahabatan yang akrab.” lifford Stoll, Silicon Snake Oil: Second Thoughts on the Information Highway. Anchor Books, 1996.
Seorang apu afaa (penasihat adat) menjelaskan kepada saya, ketika kami duduk di dermaga Dinas Perhubungan di tepi Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, pada Mei 2009 silam, bahwa instrumen komunikasi di antara suku-suku simpel saja: buah pinang (beserta kelengkapan makan pinang, yaitu batang sirih dan kapur yang terbuat dari kerang yang ditumbuk) dan/atau rokok. Apabila hendak mengundang ondoafi (ketua adat) untuk hadir di suatu acara, seperti, misalnya, Festival Danau Sentani (FDS) yang mementaskan tradisi budaya dan kesenian dari dua puluh empat kampung adat di seputaran maupun di tengah danau, apu afaa akan datang menghadap ondoafi dengan membawa pinang dan rokok. Tanpa perlu banyak cingcong, ondoafi akan segera mengerti bahwa dirinya dan komunitas yang dipimpinnya diundang untuk menghadiri dan tampil di pentas FDS.
Dalam hal perang suku, ternyata tidak serta-merta terjadi begitu saja. Sebelum perang, biasanya digelar perundingan antar kepala-kepala suku yang berkonfrontasi. Pihak yang dianggap bersalah, sehingga menimbulkan perang tersebut, harus menawarkan pinang kepada pihak lawannya. Bila tawaran diterima, mereka bukan saja berdamai, tetapi juga menjadi saudara.
Saya geleng-geleng kepala mendengar penuturan sang apu afaa, tetapi percaya pada kebenarannya. Sebab, untuk berteman baik dengan orang-orang Papua itu hanya memerlukan alat komunikasi yang sangat sederhana. Selain buah pinang dan rokok yang sifatnya resmi, sering pula dalam bentuk sapaan disertai lambaian tangan atau senyum yang ramah.
Kita yang hidup di kota besar, yang merasa peradaban kitalah yang paling maju – sedangkan suku-suku pedalaman itu kita anggap primitif – ternyata tidak lebih baik dari mereka. Teknologi komunikasi yang berkembang dan kita aplikasikan dalam kehidupan kita memang semakin canggih. Mulai dari telepon yang bisa dikantongi dan dibawa ke mana-mana, sistem untuk mengirim teks dan gambar dalam waktu secepat kedipan mata, e-mail, media sosial seperti Facebook, MySpace atau Twitter, sampai aplikasi program komunikasi dengan teknologi P2P, Skype. Tetapi tidak dipungkiri, bahwa komunikasi pribadi di antara kita malah menjadi semakin canggung, sehingga alat-alat komunikasi yang canggih itu menjadi kurang berguna. Alih-alih menunjang komunikasi, perangkat-perangkat tersebut malah, baik sadar maupun tidak, kita pakai sekadar untuk menunjang gengsi!
Secara etimologis, atau menurut asal katanya, istilah ‘komunikasi’ berasal dari bahasa Latin communication, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Perkataan communis tersebut dalam pembahasan kita ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan partai komunis yang sering dijumpai dalam kegiatan politik. Arti communis di sini adalah ‘sama’, dalam arti kata ‘sama makna’, yaitu ‘sama makna mengenai suatu hal’.
Jadi, secara umum, komunikasi didefinisikan sebagai proses di mana kita menetapkan dan menyampaikan makna dalam upaya untuk menciptakan pemahaman bersama. Proses ini memerlukan ketrampilan yang cukup dalam hubungan-hubungan intrapribadi (dialog dengan diri sendiri, menggali pengetahuan mengenai diri pribadi melalui persepsi dan kesadaran) dan antar-pribadi (hubungan dengan orang lain).
Aktivitas hubungan intrapribadi dalam upaya memahami diri pribadi, antara lain adalah berdoa, bersyukur, introspeksi diri dengan meninjau perbuatan kita dan reaksi hati nurani kita, mendayagunakan kehendak bebas, dan berimajinasi secara kreatif. Menurut pengalaman saya, tingginya frekuensi kita berhubungan intrapribadi ternyata meningkatkan serta melanggengkan hubungan antar-pribadi.
Komunikasi yang langgeng dan sarat kandungan emosinya dimulai dari keadaan diri yang diliputi cinta – yang memandang penerima pesan sebagai bagian seutuhnya dari diri kita. Saya acap menjumpai orang-orang yang canggung dalam menjalin komunikasi, pada dasarnya, juga tidak mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri (solilokui). Mereka pun enggan memandang orang sebagai bagian dari dirinya, sehingga cenderung merasa benar sendiri, sulit merendahkan hati, juga susah memaafkan.
Komunikasi yang langgeng, yang tidak terkendala kecanggungan, dan bahkan dapat menyentuh sisi pribadi penerima pesan kita, tercipta dari diri yang tenang (nafs al-muthma’inah), tidak tumpat dengan egoisme, serta dihias niat yang tidak mengutamakan kepentingan sendiri. Ini yang namanya komunikasi pakai empati, di mana pengirim pesan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk membawa penerima pesan kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan tingkat intrapribadi yang luas dan dalam, tanpa atau dengan teknologi komunikasi yang canggih, komunikasi akan dapat berlangsung tanpa canggung.©
Jakarta, 20 November 2009
Tulisan ini terilhami oleh pengalaman saya baru-baru ini di organisasi di mana saya berkrida sebagai pengurus.