"Masa depan adalah milik mereka yang mempersiapkannya sekarang." --Malcolm X (1925-1965)
"Cara terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya." --Alan Kay
Semasa masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat skripsi di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (FS; sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB) Universitas Indonesia (UI), saya pernah naksir cewek dari Fakultas Hukum UI, yang saya kenal ketika saya menjadi petugas pengawas Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) 1992. Cewek itu sendiri merupakan salah satu peserta ujian Sipenmaru yang waktu itu bertempat di SMA Negeri 45, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Singkat cerita, cewek itu diterima di FHUI dan tahu bahwa saya kuliah di Jurusan Sejarah FSUI, jurusan yang acap kali dianggap jurusan yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah alias 'madesu' (masa depan suram), sehingga tatkala saya akhirnya mengungkapkan isi hati kepadanya, sambil mengejek dia menolak cinta saya. Ejekannya ya seputar ke-madesu-an jurusan di mana saya menuntut ilmu.
Lebih dari dua tahun kemudian, cewek yang sama menelepon saya, saat saya berada di kantor, sebuah biro iklan multinasional di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Saya kaget begitu tahu bahwa dia yang menelepon, namun lebih kaget lagi dengan kenyataan betapa murah harga dirinya. Bayangkan, dia menelepon saya untuk memberitahu bahwa dia saat itu sedang 'kosong', atau bahasa zaman sekarangnya 'jomblo'. Tetapi yang membuat saya menolak adalah karena sebagai prolog pembicaraan teleponnya, dia menyatakan kekagumannya atas profesi yang saya jalani, yaitu sebagai copywriter di sebuah biro iklan multinasional, yang menurutnya bergaji besar dan karirnya prospektif. Menyadari niatnya, saya, dengan gaya mengejek sebagaimana dia dahulu, menegaskan bahwa saya sudah punya calon istri, yang tidak mementingkan saya kuliah di mana. Itulah saat pertama kalinya saya menolak cewek cantik yang secara murahan mengajukan diri untuk menjadi pacar saya.
Pengalaman itu memberi saya sebuah pemahaman, bahwa masa depan tidak ditentukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang pernah menuntut ilmu, seperti yang selama ini disangka, baik oleh orang tua maupun calon mahasiswa. Selama menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI, tak jarang saya dilecehkan dan diremehkan, baik oleh teman-teman, guru sekolah, bahkan kerabat saya: "Mau jadi apa setelah lulus?" Jika waktu sekarang bisa diputar, dan saya diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, walaupun sejenak, saya akan berteriak di telinga mereka: "Saya menjadi apa saja yang saya inginkan!"
Sampai sekarang saja, banyak orang yang tidak melihat korelasi apa pun antara latar belakang pendidikan sarjana saya dengan profesi saya dewasa ini di bidang komunikasi pemasaran dan korporat. Masyarakat, baik awam maupun industri, masih saja menganggap bahwa bidang-bidang tertentu hanya dapat ditangani oleh ilmu-ilmu yang terkait. Salah satu klien saya, yang suatu ketika mendapat penjelasan dari saya tentang strategi distribusi untuk produknya, mengira saya master of business administration dari sebuah universitas terkemuka di Amerika, oleh sebab, katanya, apa yang saya sampaikan pernah disampaikan dosennya ketika dia kuliah untuk MBAnya di Amerika Serikat. Dia terbelalak, nyaris tidak bisa bicara, waktu saya sampaikan bahwa saya sarjana sejarah lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. "Lalu, di mana Anda belajar soal distribusi?" tanyanya, tergagap-gagap. "Saya baca bukunya, Pak, dan kemudian saya praktikkan melalui pekerjaan-pekerjaan yang saya terima!"
Masa depan ditentukan oleh kita sendiri; kita maunya jadi apa, lantas memompakan energi ekstra ke dalam diri untuk menggerakkan tindakan ke arah pencapaian dari apa yang kita cita-citakan. Bahkan bisa dikatakan, bahwa sekolah sebenarnya tidaklah terlalu penting dibandingkan dengan belajar. Kita dapat belajar apa saja, kapan saja dan di mana saja, tanpa bergantung atau terbatas oleh dinding-dinding, pagar atau nama lembaga. Kehidupan kita sendiri bahkan sudah terlalu sering diwarnai oleh keberadaan orang-orang yang profesi dan pekerjaannya tidak mencerminkan latar belakang pendidikannya.
Membatasi diri hanya karena merasa tidak memiliki pengetahuan di suatu bidang sesungguhnya menafikan kenyataan bahwa dalam diri kita terkandung segudang potensi yang menanti untuk dimanifestasi. Segala sesuatu bisa dipelajari, dipahami dan kemudian dipraktikkan tanpa Anda harus berguru pada suatu lembaga pendidikan yang terspesialisasi atau guru tertentu. Anda bisa belajar dari diri sendiri, melalui praktik-praktik langsung dalam kehidupan Anda. Hidup ini menyediakan bagi mereka, yang bersedia menjalaninya dengan sadar, banyak peluang dan kemampuan untuk mengerjakannya dengan potensi-potensi yang mereka miliki.
Untuk menciptakan masa depan kita sekarang ini, tidak diperlukan untuk masuk 'jurusan sukses' di perguruan tinggi. Dewasa ini, kita hanyut dalam pusaran persaingan yang keras, di mana latar belakang pendidikan tidaklah terlalu penting dibandingkan menjalankan ikhtiar terus-menerus dan sadar, sehingga Anda akan memperoleh pembelajaran maupun pemahaman secara berkelanjutan.©
Salam, ANTO DWIASTORO