Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang. Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang… La la la la la la…” -Lagu anak-anak
Kegamangan menghadapi hidup di Jakartalah yang membuat saya pada awal tahun 2000 pindah ke Surabaya, dengan harapan di kota itu kehidupan saya bakal membaik. Sampai saat itu, saya telah lima tahun berkarir di industri periklanan dengan gaji yang wah. Tetapi karena saya selalu merasa kurang, semua itu menjadi tidak ada artinya. Saya tetap saja menderita, tidak puas dengan apa yang saya terima, dan berbuntut dengan saya nyaris setiap hari uring-uringan, marah-marah tak jelas sebab. Dan saya juga menjadi tambah bodoh, walaupun setiap pekerjaan yang saya tangani mendatangkan pengalaman baru, ketemu orang-orang baru dan permasalahan-permasalahan baru yang mestinya membuat saya lebih kreatif.
Yang saya kira akan memberi saya hidup baru yang menyenangkan, dengan tinggal dan bekerja di kota lain, ternyata hanya angan-angan semu. Surabaya, bagi saya saat itu, menawarkan kegamangan dan kekecewaan lebih besar. Pengalaman dengan seorang relasi yang punya deposito Rp 50 miliar, yang hidup bermewah-mewah dan berperilaku bejat, membuat saya akhirnya merasa Tuhan tidak adil. Saya yang rajin salat dan berdoa, puasa, zakat dan lain-lain bentuk ibadah (ritual) lainnya dan (merasa) telah berbuat baik, menjauhkan diri dari kemaksiatan, malah dipurukkan ke kubangan kemiskinan, baik secara material maupun intelektual dan spiritual. Kekecewaan yang berlarut-larut ini membuat saya berpaling dari Tuhan, menjadi ateis. Rupanya sikap tidak bertuhan pun membuat saya semakin menderita. Hidup saya menjadi berantakan, yang saya lampiaskan ke alkohol dan perempuan.
Dalam prosesnya, saya menyadari, penyebab mengapa di mana pun saya berada saya tidak merasa senang adalah karena rasa syukur tidak bersemayam di hati saya. Sejatinya, di mana pun, mau di Indonesia, Amerika, Belanda, Afrika, di kota yang menyajikan dunia gemerlap atau alam pedesaan yang permai, ketika rasa syukur diabaikan semua tempat itu tak ubahnya neraka.
Perjalanan ke arah kesadaran itu bukan tanpa liku. Tetapi jalannya – bagi yang menginsafinya – terang dan pasti. Setiap orang akan ditunjukkan jalannya masing-masing. Sama sekali bukan hak orang lain untuk mengatur-atur atau menentukan mana jalan yang terbaik bagi Anda. Itu adalah hak prerogratif Yang Kuasa.
Dalam kasus saya, Dia membimbing saya lewat jalan Susila Budhi Dharma (Subud), yang melaluinya saya dapat memahami hakikat dari agama saya. Salah satu penyebab mengapa saya (saya kira, semua orang) nekat berpaling dari Tuhan, adalah karena kepada saya tidak pernah diajarkan hakikat dari agama saya. Guru agama tidak pernah menjelaskan tentang Tuhan dan ketuhanan, bahwa untuk mendekatiNya diperlukan bagi saya untuk berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, serta bahwa segala sesuatu dalam kehidupan kita sudah diatur menurut kehendakNya, sehingga ketika menghadapi keadaan yang bagaimanapun, saya tidak berkemampuan sama sekali untuk menerimanya dengan ikhlas.
Sejak saya menggapai kesadaran tersebut, Tuhan, dengan caraNya yang tidak dapat diduga-duga, selalu mengajarkan kepada saya bahwa apa yang saya lihat pada orang lain tidak selalu seperti apa yang terlihat. Ketika saya iri pada seseorang yang kaya-raya, orang tersebut malah menyatakan secara langsung bahwa dia iri pada saya, karena dianggapnya saya kaya pengetahuan dan kaya peluang untuk melakukan apa saja yang saya suka. Ketika saya anggap seseorang beruntung dengan apa yang dimilikinya, yang bersangkutan malah bilang ke saya betapa beruntungnya saya karena telah berhasil mewujudkan semua yang saya cita-citakan.
Pengalaman-pengalaman ini mendudukkan saya pada keinsafan bahwa tidak ada kebaikan sama sekali dalam melakoni hidup (berdasarkan cara hidup) orang lain. Kita harus menjadi diri sendiri, be yourself, mensyukuri keadaan kita sebagaimana adanya sekarang, bukan ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi. Kalau pun harus ada yang diubah, itu harus berasal dari kesadaran kita sendiri, bukan karena kita disuruh atau karena anggapan orang lain – yang berpotensi menjadikan diri kita munafik. Kita seyogianya juga mesti terus memohon kepada Tuhan, agar diri kita dimampukanNya untuk mewujudkan semua potensi yang kita miliki, sehingga tidak menjadi manusia yang ‘biasa-biasa saja’.
Memang tidak ada cara lain selain bersyukur. Kadang susah menerima kenyataan dengan ikhlas, apalagi bila kenyataan itu jauh dari apa yang kita bayangkan. Tetapi apabila kita dapat melampaui kesusahan itu, rasa syukur akan membukakan segala kemudahan. Betapa menyenangkannya. Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang… La la la la la la…©