Oleh Anto Dwiastoro Slamet
Tahun 2006, saya harus diopname di rumah sakit selama delapan hari akibat infeksi lambung yang akut. Rasa sakit yang menyerang perut saya luar biasa hebat, seakan ribuan jarum sedang menusukinya dengan kejam. Sebelum masuk RS, saya sudah menderita sakit itu selama dua minggu. Setiap malam, di kamar saya mengerang-erang kesakitan. Berbagai tindakan, dari medis (obat) sampai agamis (membaca Surat Yasin), saya tempuh. Namun, tak satu pun membawa hasil. Saya berguling-guling di lantai, menggelepar, menggeliat-geliat laksana ayam disembelih.
Suatu pagi, pada hari keempat di RS, saya kembali menggeliat kesakitan di lantai kamar, sampai kemudian dipapah perawat kembali ke ranjang. Sementara perawat berkonsultasi dengan dokter mengenai tindakan apa yang mesti diambil untuk mengatasi sakit saya, istri saya yang menemani hari-hari saya di RS membujuk agar saya menenangkan diri. “Kamu udah Subud. Pakai latihan (kejiwaan)nya,” bisik istri saya.
Saya lalu memejamkan mata, menentramkan diri. Saya tarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya panjang sambil melafalkan ‘Allah’ dengan lirih. Setelah beberapa kali, sakit di perut saya perlahan sirna seiring saya memasuki alam mimpi. Samar-samar, saya mendengar suara perawat yang telah kembali ke kamar saya membawa sebotol sedang infus antibiotika yang diperintahkan dokter, “Wah, Pak Anto ini. Tadi jerit-jerit, sekarang udah tidur.”
Di lain kesempatan, masih di RS, sejumlah saudara Subud yang datang menjenguk mendampingi saya berlatih kejiwaan Subud, yang pada pokoknya dimulai dengan menenangkan akal pikiran dan hawa nafsu. Dalam waktu seketika, erangan saya berubah menjadi tawa terpingkal-pingkal, sedangkan sakitnya luruh sejalan dengan redamnya pikiran sakit saya.
Sejak saat itu, saya selalu mengamalkan laku tersebut di atas. Sejak saat itu pula, saya diberi kepahaman bahwa kondisi sehat atau sakit kita utamanya dipicu oleh pikiran. Pikiran dapat menyakiti, apabila ia sedang kemrungsung (Jw., ‘kacau’). Tetapi pikiran jua yang mengobati, jika kita dapat meredakan kekacauan di wilayahnya.
Ketika dokter spesialis penyakit dalam yang menangani saya akhirnya tidak menemukan penyebab penyakit yang saya derita – setelah saya menempuh pelbagai pemeriksaan dengan alat-alat canggih, melainkan akibat yang ditimbulkannya, yaitu luka-luka seperti sariawan di kerongkongan saya lantaran keseringan muntah, saya jadi memahami bahwa Gusti Allah sedang memberi saya pelajaran berbobot emas: Pikiran menyakiti, pikiran pula yang mengobati!
Belakangan, tak berkurang jumlah profesional kesehatan dalam maupun luar negeri yang mengaitkan penyakit dengan pikiran. Obat yang kesaktiannya sundul langit sekali pun takkan mampu mengatasi penyakit yang kita derita apabila pikiran kita masih merayakan kekacauan. Coba simak apa kata para dokter berikut ini:
Michael F. Rozen, M.D. dan Mehmet C. Oz, M.D., You, The Owner’s Manual – Panduan Menjadi Dokter bagi Diri Sendiri untuk Hidup Lebih Sehat dan Awet Muda dengan Memahami Tubuh Anda (Yogyakarta: Penerbit B-First/PT Bentang Pustaka, 2007, hlm. 88): “Dengan bermeditasi, ada imbalan berlipat ganda. Meditasi membantu memelihara sel-sel otak Anda dan menjaga fungsi-fungsi yang berhubungan dengan daya ingat , dan komponen pengurang-stres dalam meditasi membantu kondisi-kondisi seperti gangguan depresi dan kecemasan. Untuk bermeditasi, yang Anda butuhkan hanyalah sebuah ruangan yang tenang. Dengan mata setengah tertutup, berfokuslah pada pernapasan Anda dan ulangi kata atau frasa yang sama berkali-kali – misalnya ‘um’ atau ‘satu’. Proses pengulangan kata yang sama itulah yang membantu menjernihkan dan mengendurkan pikiran Anda, dan yang memberi pengaruh positif bagi kesehatan Anda, kecuali jika Anda menggunakan kalimat, ‘Aku pengin keripik kentang.’”
Dr. Tan Shot Yen, Saya Pilih Sehat dan Sembuh – Transformasi Paradigma Mengobati Menjadi Menyembuhkan (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, tth, hlm. 84-85): “Keluhan simtomatis atau psikosomatis (gangguan pada tubuh yang disebabkan oleh gangguan emosi/pemikiran tertentu) di tangan dokter malah diselesaikan dengan obat, bukan mengembalikan gangguan emosi pada ‘jalur sehat’nya, sehingga keluhan tubuh menjadi sirna dengan sendirinya – sebagai umpan balik positif.”
Di halaman lampiran bukunya tersebut (hlm. 103), Dokter Tan juga mengungkapkan, antara lain, bahwa kanker dapat disebabkan oleh keadaan batin yang terluka sangat dalam, kemarahan lama, rasa terkubur dalam atau rasa duka seakan-akan memakan cangkangnya. Ia menganjurkan pasien untuk dengan cinta memaafkan dan mengikhlaskan semua masa lalu. “Saya memilih hidup dengan kegembiraan, saya cinta dan menerima diri apa adanya,” katanya.
Dr. Ade Hashman, Rasulullah Saw. Tidak Pernah Sakit – Meneladani Pola Hidup Sehat Nabi Muhammad Saw. (Jakarta: Penerbit Hikmah/PT Mizan Publika, 2008, hlm. 55: “Bagaimana seseorang menjalani hidup sangat memengaruhi sejumlah risiko menderita penyakit-penyakit dan juga memengaruhi penyembuhan bila menderita sakit. Banyak orang merasa terancam status kesehatannya saat memasuki paruh umur setengah baya. Tapi, sesungguhnya kekhawatiran tersebut dapat dihindari bila manusia memperlakukan tubuh dan pikiran dengan cara-cara yang sehat dan bijaksana yang melindungi sistem penyembuhan.”
Hiromi Shinya, M.D., The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel (Bandung: Penerbit Qanita/PT Mizan Pustaka, 2009, hlm. 246: “Ada beberapa contoh mengenai orang-orang yang secara menakjubkan dapat sembuh dari sakit parahnya setelah menetapkan pikiran mereka pada suatu tujuan. Ada berbagai contoh dari seluruh dunia saat orang-orang yang menderita kanker mengalami rasa syukur karena satu dan lain hal, dan begitu mulai mengalami perasaan itu, mereka pun mulai membaik.” Dalam tujuh kunci emasnya untuk hidup sehat, Dr. Shinya menganjurkan kita untuk rajin bermeditasi dan berpikir positif.
Saya kira, pendapat-pendapat para dokter tersebut di atas mempertegas kenyataan bahwa pada zaman para leluhur kita penyakit-penyakit yang beredar tidak sedahsyat sekarang. Di salah satu kampung pantai di Kabupaten Jayapura, Papua, yang saya kunjungi pada bulan Mei dan Juni 2009 lalu, yang kehidupannya tenang dan permai, penyakit terparah yang diderita penduduknya hanya batuk, akibat cuaca panas dan debu! Dan obatnya hanya daun pepaya yang ditumbuk dan disantap bersama makanan pokok mereka, yaitu bubur sagu papeda
Pikiran adalah pembantu yang baik, tetapi majikan yang buruk. Oleh karena itu, dalam situasi-situasi yang buruk sebaiknya jangan biarkan pikiran yang memimpin Anda. Lepaskan semua, dan biarkan Tuhan yang bekerja (let go, let God) dalam membimbing dan menuntun jiwa kita yang berbalut penyerahan diri kepadaNya dengan sabar, ikhlas dan tawakal.©
Salam, ANTO DWIASTORO