Oleh Anto Dwiastoro Slamer
"Sukses adalah kemampuan untuk melewati kegagalan yang satu ke yang lainnya tanpa kehilangan antusiasme." --Sir Winston Churchill (1874-1965)
Seorang kawan, yang saya tanya bagaimana kabar bisnisnya, menjawab, "Berjalan mundur, Mas." Lalu, saya tanya lagi, langkah apa yang ditempuhnya untuk mengatasi hal itu. "Aku balikkan badanku saja, toh jadi maju juga," jawabnya tanpa merinci maksudnya. Tetapi jawabannya yang terkesan seloroh itu membangkitkan pada diri saya permenungan yang mendalam.
Kemunduran atau kegagalan dalam ikhtiar tidak seharusnya menyurutkan langkah kita untuk tetap tegar menyambut tantangan, menerjang rintangan. Kemunduran atau kegagalan, menurut saya, hanyalah keadaan pikiran (state of mind), yang sesungguhnya dapat diatasi dengan bersikap dan bertindak (seakan) sebaliknya.
Tidak selamanya kemunduran atau kegagalan merupakan pertanda kebodohan atau kesembronoan kita. Kalau pun bodoh atau sembrono, demikian pengalaman saya menuturkan, kita akan mendapat arahan yang jelas apabila kita bersedia merendahkan hati di hadapan Yang Kuasa. Seabrek hikmah pembelajaran menyemburat dari eksistensi kegagalan. Tanpa kemunduran atau kegagalan, kita takkan dapat mengukur sampai di mana aras (level) kita dalam perjalanan usaha yang sedang kita jejaki.
Kenyataan ini seyogianya membuat kita bersyukur atas kemunduran atau kegagalan yang menghampiri kita. Bertahun-tahun lalu, saya pernah mengalami momen di mana naskah-naskah artikel yang saya kirim ke sebuah suratkabar papan atas bertiras nasional ditolak oleh redaksinya hingga dua belas kali. Kegagalan demi kegagalan itu membentuk serpihan-serpihanpuzzle hikmah yang saya coba susun hingga mewujud suatu gambaran yang jelas mengenai tuntunan Tuhan atas diri saya, ketika saya hendak mengirimkan naskah yang sama untuk kali ketiga belas. Yang ketiga belas itulah yang akhirnya dimuat. (Saya tak dapat membayangkan, bagaimana jadinya seandainya saya putus asa dan menyerah saat pengiriman yang kedua belas ditolak redaksi suratkabar tersebut.)
Pengalaman dengan artikel itu mendorong saya untuk selalu melihat kemunduran atau kegagalan dari sisi yang berbeda, yaitu yang sebaliknya, yang akhirnya membuat saya memahami bahwa kemunduran atau kegagalan hanyalah satu fase dalam proses tumbuh-kembang kita, dalam upaya apa pun yang sedang kita tempuh. Hanya satu fase. Yang tanpa itu kita takkan mendapat gagasan yang utuh tentang bagaimana Tuhan membimbing dan menuntun kita dalam menemukan makna sejati dari keberadaan kita di dunia ini.
Kegagalan itu hanyalah kawan seperjalanan dari sosok yang selama ini selalu saja kita puja-puji, yaitu kesuksesan. Keduanya, sejatinya, mewujud tiang-tiang penopang hidup kita; keduanya serupa satu pinang dibelah dua. Dua sisi dari mata uang yang sama.
Oleh karena itu, tak layak kita kelewat gembira dengan yang satu (kesuksesan), dan terlalu berlara, hingga kita terperosok ke lubang keputusasaan, atas kehadiran yang lainnya (kegagalan). Jika kemunduran mewarnai hidup Anda, janganlah terseret olehnya. Lakukan yang sebaliknya -- balik badan, seperti kawan saya tadi. Sambutlah hidup dengan selalu tersenyum kepada dunia.©
Catatan ini terilhami oleh senyum saudara Subud saya, yang tidak pernah berhenti tersungging dalam kesehariannya, dalam keadaan dirinya senang maupun susah.
Salam, ANTO DWIASTORO