Oleh Anto Dwiastoro Slamet
Semasa saya kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI, kini Fakultas Ilmu Budaya atau FIB-UI), saya pernah mengambil matakuliah yang diajarkan oleh DR Onghokham (1933-2007), salah seorang pakar terkemuka sejarah Indonesia abad ke-19. Suatu kali, beliau membuat saya – bila tidak dapat dikatakan semua mahasiswa yang mengikuti kuliah beliau – menginsafi kenyataan bahwa siapa yang mengatakan lebih penting daripada apa yang dikatakannya. Beliau menyampaikan, “Kalau seorang Onghokham bilang di Gedung VI ada setannya, koran Kompas pun akan memberitakannya. Tapi kalau mahasiswa yang bilang di Gedung VI ada setannya nggak seorang pun bakal percaya.”
Beliau sedang mengacu pada pemberitaan di sebuah koran murahan, bahwa sejumlah mahasiswa program diploma FSUI mengaku melihat kuntilanak di tengah proses belajar-mengajar di Gedung VI, salah satu bangunan fakultas yang dipakai untuk kegiatan perkuliahan. Pernyataan mahasiswa tempatnya hanya di koran picisan, mungkin begitu maksud pernyataan sejarawan eksentrik dan hedonis itu. Tetapi beliau menekankan bahwa kecenderungan itu juga terjadi dalam penulisan sejarah. Pernyataan pelaku sejarah yang mungkin kurang dikenal bisa dikalahkan oleh statement akademis seorang ahli sejarah yang terkenal.
Kenyataan ini ada dan masih terus berlangsung di tengah-tengah kita. Masyarakat lebih percaya pada siapa yang mengatakan tinimbang apa yang dikatakan. Bukan berarti hal itu selalu dapat dibenarkan, sebab kecenderungan itu seringnya disalahgunakan dan malah menyesatkan (misleading) serta mencelakakan orang lain. Parahnya, hal ini seolah telah membudaya, utamanya dalam kehidupan umat beragama. Dalam komunitas muslim, misalnya, umat memang dianjurkan untuk menyandarkan tuntunan perilaku dan sikapnya pada ulama atau imam. Dan umat cenderung taat pada tuntunan tersebut, berdasarkan asas sami’na wa athona (kami dengar dan kami taati).
Persoalannya, dewasa ini banyak ulama yang sesungguhnya tidak berhak menyandang predikat itu. KH Mustofa Bisri pernah mengungkapkan kepada Jawa Pos, bahwa ada beberapa jenis ulama, antara lain ‘ulama bikinan’, di mana yang bersangkutan cukup mengenakan sorban dan jubah dan hafal beberapa ayat dari Al Qur’an serta beberapa hadis untuk melengkapi aksi berkoar-koarnya di tengah umat yang kebanyakan kepalang melihat siapa yang mengatakannya ketimbang apa yang dikatakannya. Apalagi yang mereka lihat yang mengatakannya adalah seseorang yang bersorban, berjubah dan bergelar haji, yang konon dianggap aksesori yang Islami. (Jadi, Anda tidak akan dianggap muslim, meski hati dan pikiran Anda selalu tertuju pada Allah, sedangkan aksesori yang Anda kenakan tidak menegaskan hal itu.)
Suatu saat, si ulama bikinan berulah dengan mengatakan hal-hal fitnah atau menuding pihak lain sebagai sesat, saya yakin umat akan percaya seratus persen. Karena hal itu sudah seringkali terjadi di negeri ini. Lantaran kelewat percaya pada siapa yang mengatakan, tanpa mau menimbang-nimbang apa yang dikatakannya, korban jiwa mesti berjatuhan sebagai akibatnya.
Baru-baru ini, salah seorang saudara Subud saya mempermasalahkan sosok Sai Baba yang pernyataannya saya kutip untuk pembukaan note saya yang bertajuk “Karunia Lupa”. Berdasarkan pemberitaan sebuah media, ia mencap Sai Baba guru spiritual palsu, yang keahliannya hanya sulap biasa, tidak lebih dari trik David Blaine. Ya, saya pernah baca itu, tetapi saya kira kata mutiaranya bukan trik serta sangat menginspirasi saya untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Saya sulit membayangkan bagaimana jadinya bila semua orang bertingkah laku berdasarkan siapa yang mengatakannya dan bukan substansi perkataannya. Bisa-bisa, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Kebaikan kerap tertangguhkan implementasinya, semata karena orang yang menyuarakan atau mencontohkannya diragukan kredibilitasnya. Kebanyakan kita sepertinya lebih baik mati kelaparan daripada mesti menyantap makanan yang dimasak koki yang tidak terkenal. Orang lebih memilih jadi bodoh daripada menyerap pengetahuan dan kebijaksanaan (wisdom) yang mungkin disalurkan Tuhan lewat orang yang bertampang bodoh serta tidak populer di komunitasnya.
Miliki pertimbangan yang bijaksana; kalau ragu, tenangkan diri dan ikuti kata hati yang menyeruak di tengah keheningan. Dengarkan suara batin Anda. Masak Anda tidak percaya pada diri sendiri, sih?! Tetapi ya, jangan percaya begitu saja pada apa yang barusan saya katakan. Karena saya toh bukan siapa-siapa.©
Salam, ANTO DWIASTORO