Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Ada dua hal yang harus kita lupakan dalam hidup ini, yaitu melupakan kebaikan kita pada orang lain dan melupakan kesalahan orang lain pada diri kita.”—Sai Baba
Seorang kawan tiba-tiba mengingatkan saya, “Seingat gue, si Polan yang lu kasih X yang lu titip lewat si Fulan, belum bilang terima kasih ke lu ya?
“Wah, gue nggak inget tuh. Yang mana ya?” kata saya. Saya benar-benar lupa, mungkin dikarenakan saya terlalu sibuk dengan berbagai hal belakangan ini.
“Si Polan nggak telepon, SMS, kirim pesan di Facebook atau mungkin pesan lewat si Fulan?”
Saya menggeleng. Saya tidak merasa memberi apa pun pada si Polan, sehingga saya tidak pula merasa perlu diterimakasihi. Tetapi tiba-tiba saya teringat, karena kawan tadi terus mendesak saya agar mengingat-ingatnya. Mungkin bagi dia, ucapan terima kasih bagi kebaikan yang kita sampaikan kepada orang lain adalah hak kita. Tiba-tiba saya teringat, bahwa baru-baru ini saya memang menitipkan X lewat si Fulan untuk disampaikan kepada si Polan. Tetapi ingatan itu malah membuat saya tersiksa.
Kenyataan bahwa kita tidak dihargai atas perbuatan baik kita sungguh menyakitkan. Karena itu, segera saja saya pejamkan mata dan menenangkan pikiran, dengan harapan ingatan itu segera pergi. Saya hardik kawan saya itu, agar tidak berusaha terus mengingatkan saya. Adalah jauh lebih baik jika saya lupa. Sebaliknya, saya berdoa agar saya senantiasa ingat akan kebaikan orang pada saya.
Adalah ego kita yang selalu menuntut penghargaan atau apresiasi orang lain atas diri kita apabila kita telah berbuat baik padanya. Ada berbagai faktor yang menyebabkan banyak orang mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya pada orang lain. Tidak dipungkiri, ajaran agama berperan dalam hal ini, antara lain bahwa Tuhan akan mengganjar hambaNya dengan surga jika ia berbuat baik, dan sebaliknya yang berkelakuan buruk akan dibayar dengan tempat di neraka. Pada awal seseorang belajar agama, pendekatan ini memang ampuh, tetapi jika berlarut-larut perbuatan baiknya bakal tidak tulus; ia akan senantiasa mengharapkan imbalan atas perbuatan baiknya.
Sodori dia pertanyaan yang disenandungkan Chrisye, “Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah padaNya? Atau mungkin kita hanya takut pada neraka, dan inginkan surga. Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya?” Dia pasti akan kebingungan menjawabnya. Pantas saja, banyak orang yang mengaku susah menerapkan sikap berserah diri kepada kehendak Tuhan dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal, dengan pasal banyak orang merasa telah berbuat baik dan sepatutnya bukan hanya sesama manusia tetapi juga Tuhan yang mesti mengingat dan menghargai mereka. Bukan main!
Saya telah melatih diri (yang rasanya kadang, meminjam ekspresi saudara Subud saya, seperti menelan buah kedondong bulat-bulat dan tersangkut di kerongkongan) untuk tidak menuntut penghargaan agar tidak kesakitan ketika saya justru diabaikan. Ketika melupakan perbuatan baik saya terhadap orang lain, saya telah merasakan kesejatian dalam menghargai orang lain maupun hidup saya sendiri. Dilupakan orang hanya menyakitkan ketika kita tidak mau berusaha melupakannya! Tidak memenuhi gagasan tentang penghargaan dan apresiasi seperti yang kita harapkan dari orang lain hanya menyakitkan jika memang itu yang kita kejar.
Ingatan akan kebaikan yang kita berikan pada orang lain jika terus dipompa akan mendorong ego kita untuk menuntut penghargaan atau apresiasi, yang bila tidak terpenuhi akan terasa menyakitkan hati. Karena itu, sungguh lupa itu merupakan karunia.©
Salam, ANTO DWIASTORO