Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Bila Anda dapat menenangkan pikiran Anda yang resah dengan perlahan dan pasti, Tuhan akan segera dan gembira membuka HatiNya yang Maha Luas.” —Sri Chinmoy Kumar Ghose
Saya acap diserbu pertanyaan dan pernyataan, setiap kali saya melempar wacana ‘menghentikan kerja pikiran’ atau ‘mengosongkan pikiran’: Bagaimana bisa? Tidak mungkin pikiran dihentikan, walaupun sejenak, karena ia pelengkap manusia untuk hidup di dunia. Pikiran itu seperti titik pada papan tulis. Apakah baik atau salah, ia tetap ada.
Okay deh, simak dahulu kisah nyata berikut, yang saya alami baru-baru ini. Pada 23 Agustus 2009 lalu, istri saya, yang secara profesional memanajeri pekerjaan-pekerjaan yang saya terima sebagai seorang freelancer, ditelepon oleh Anggitya (bukan nama sebenarnya), project procurement officer MSA (nama samaran sebuah perusahaan layanan digital terpadu yang berbasis di Jakarta dan Surabaya). Saya dan istri sudah mengenal baik Anggitya dan jasa saya selaku public relations writer pernah dipakai MSA. Kali ini, MSA bermaksud memakai jasa saya lagi, sebagai scriptwriter untuk proyek pembuatan profil video sebuah perusahaan kontraktor pertambangan yang wilayah operasinya mencakup Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Selain nama perusahaan, kepada saya tidak diberikan info dan data yang menunjang tentang seluk-beluk perusahaan yang dapat membantu saya mengerangka profilnya. Situs Web-nya ada tetapi tidak bisa diakses (page cannot be opened). Pokoknya, saya benar-benar tidak punya arahan, sedangkan saya tidak terbiasa menggunakan imajinasi belaka dalam membuat profil video yang menyangkut citra sebuah perusahaan. Tenggat waktunya pun sangat ketat – naskah harus sudah selesai sebelum tanggal 28 Agustus, karena pada 29-nya kru syuting akan terbang ke Balikpapan.
Sepanjang lima belas tahun karier saya, belum pernah sekalipun saya mengerjakan suatu naskah tanpa data dan informasi sama sekali, sehingga saya menengarai suatu kejanggalan dalam pekerjaan yang diorderkan MSA ke saya.
Pada hari Selasa, 25 Agustus, saya harus memenuhi jadwal online editing sebuah iklan televisi yang tengah saya garap, di griya pasca produksi di Jakarta Barat. Sepanjang perjalanan dari Cilandak (lokasi salah satu perusahaan komunikasi pemasaran tempat saya mencari nafkah sebagai freelance copywriter), Jakarta Selatan, ke Kelapa Dua, Jakarta Barat, sambil mengendarai sepeda motor di bawah pancaran sinar matahari yang terik, saya merenungkan pernyataan ulama bahwa doa orang yang berpuasa pasti Tuhan kabulkan. “Ya Allah, berikan aku petunjuk dalam kaitan dengan pekerjaan dari MSA,” doa saya dalam hati.
Sampai di tempat, saya bersua dengan sutradara yang mengarahkan produksi iklan televisi tersebut. Kepadanya saya berkeluh-kesah mengenai MSA dan cara kerjanya yang menurut saya janggal berkaitan dengan penulisan naskah profil video kliennya. Spontan, si sutradara berkata, “Yang berangkat ke Balikpapan tanggal 29-30 Agustus itu ya?” Lalu, ia menjelaskan bahwa yang menggarap syutingnya adalah mitranya sendiri, yang juga saya kenal berhubung yang bersangkutan bertindak sebagai asisten sutradara bagi proyek iklan televisi yang hari itu masuk tahap online editing. Si sutradara bahkan menyambungkan saya melalui telepon selulernya dengan orang yang dimaksud, dan ia menjelaskan duduk perkaranya. Benang merah pun mulai terajut. Dengan jernih, saya melihat petunjuk Gusti Allah!
Akhirnya, meskipun saya segera teringat pada doa yang saya panjatkan beberapa saat sebelumnya, ketika saya sedang melaju di jalan, saya sempat berujar, “Kok bisa ya?” Kok bisa ‘maksud-maksud tak jelas’ MSA terbongkar dengan demikian mudahnya melalui obrolan simpel nan santai antara saya dan si sutradara? Anggitya yang sempat dikontak istri saya mengenai pengalaman saya yang mendebarkan (saya benar-benar gemetar begitu tersadar bahwa Tuhan Maha Mendengar doa hambaNya), juga berujar, “Kok bisa ya?”
Kok bisa ya? Ya, bisa saja, lantaran begitulah adanya – kenyataan itu tidak bisa digugat, diteorikan, dianggap kebetulan, dan lain-lain yang biasanya ingin kita pikirkan. Begitulah sifat pikiran; selalu ingin dipuaskan dengan jawaban-jawaban logis. Itulah batas akhir penggunaan pikiran kita. Sampai di situ saja! Kalau dipaksa untuk diteruskan, bisa-bisa kita jadi gila.
Pernyataan ulama bahwa doa orang yang berpuasa pasti dikabulkan Allah memang akhirnya terbukti. Tetapi bagaimana Tuhan melakukannya, tidak perlu dipikirkan. Buang-buang waktu saja. Ini mempertegas kenyataan bahwa kerja pikiran amat sangat terbatas, tidak mampu melampaui kemahaluasan Tuhan, dan karenanya bisa dihentikan atau dikosongkan sejenak. Di atas itu semua, serahkan segala urusan kepada Sang Pencipta. Sikap berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal adalah kunci pembuka segala rahasia, mulai dari yang bikinan manusia (seperti dalam kasus MSA) sampai, jika dikehendakiNya, yang bersifat Ilahi.©
Salam, ANTO DWIASTORO