Oleh Anto Dwiastoro Slamet
Suatu hari, begitu terburu-burunya saya berangkat untuk menyambut rezeki, saya sampai lupa membawa telepon seluler (ponsel) saya – baik yang GSM maupun yang CDMA. Saya baru teringat ketika saya sudah sangat jauh dari rumah, yang untuk kembali tidak memungkinkan lantaran keterbatasan waktu, sedangkan jalan-jalan yang saya lalui sedang ditimpa kemacetan parah. Saya pun resah, gelisah dan mendesah. Tetapi pada saat itu pula merasa sangat janggal dengan diri sendiri: Mengapa saya merasa gelisah dan terusik dengan keadaan itu?
Kegelisahan saya perlahan-lahan mereda tatkala pikiran saya melompat jauh ke belakang, ke masa-masa dahulu ketika saya belum punya ponsel, ketika ponsel masih menjadi barang langka di Indonesia, bahkan ke masa-masa awal tahun 1970an di mana kompleks tempat tinggal saya belum disinggahi listrik, di mana satu-satunya sumber hiburan adalah radio bertenaga baterei. Kadang televisi hitam-putih mengisi kehidupan berkat genset kecil yang acap merem-melek. “Ya Tuhan,” batin saya di atas sadel sepeda motor di tengah kemacetan jalan raya, “aku rupanya dihinggapi kemelekatan pada kebendaan!”
Ketika saya baru menempuh jalan spiritual, saya sulit memercayai kenyataan bahwa benda itu punya roh atau energi yang sanggup menguasai dan bahkan menaklukkan kita. Bagaimana mungkin benda yang ciptaan manusia atau diolah manusia dari apa-apa yang sudah tersedia di alam dapat menaklukkan pembuat/pengolahnya? Saya kira, Anda pun sulit memercayainya. Tetapi, coba saya rasakan diri Anda sendiri, kok Anda bisa mencintai sebuah benda dan merasa berat hati ketika benda itu hilang. Pengalaman lupa membawa ponsel, dan betapa gelisah saya dibuatnya membuktikan bahwa benda memang punya daya yang sanggup merontokkan kemuliaan kita sebagai manusia. Kalau Anda seperti saya, berarti, sadar atau tidak, kita telah memuja berhala; menuhankan segala sesuatu yang sejatinya bukan kita, atau selain Tuhan.
Pengalaman spiritual tersebut semakin kaya ketika pada tanggal 6-9 Desember lalu saya mengikuti ekspedisi Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, beserta jajarannya ke daerah pedalaman Papua, mengunjungi distrik paling tertinggal di antara sembilan belas distrik yang dinaungi Kabupaten Jayapura, yaitu Distrik Airu, yang mencakup lima kampung berpenduduk nomaden di kawasan hutan hujan yang dibelah sungai Nawa-Mamberamo. Istilah ‘tertinggal’ sebenarnya subyektif; hanya menurut penilaian kita yang hidup dengan segala kelebihan infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Sebab, kenyataan yang saya jumpai di Kampung Aurina I, penduduknya dapat menciptakan dan memanfaatkan kelebihan dari kekurangan kampung mereka dalam hal infrastruktur dan sarana-sarana penunjang lainnya. Dan saya belajar banyak hal di kampung yang terdiri dari dua puluh rumah dan bangunan publik (balai pertemuan musyawarah kampung dan gereja yang terkesan darurat {makeshift}) tanpa listrik dan air bersih. Untuk sekadar menyalakan lampu selama maksimal delapan jam, setiap rumah mendapat sumbangan sel surya dari dinas energi dan pertambangan Kabupaten Jayapura serta seperangkat genset. Untuk air minum, penduduk mengandalkan sumur tadah hujan yang belakangan sudah tidak terurus. Walaupun letak kampung di tepi Sungai Nawa, namun air sungai tidak bisa dikonsumsi karena keruh akibat lumpur, yang bila masuk ke dalamnya kaki kita bakal tersedot dan tersangkut. Tak heran, jika tidak ada yang berani terjun langsung ke dalam sungai, lantaran risiko tenggelam atau kaki dicaplok buaya yang banyak menghuni perairan lebar rata-rata 75-200 meter itu. Ponsel saya tidak terpakai, karena toh tidak mendapat sinyal – anehnya, saya tidak merasa gelisah, walaupun nyata-nyata terputus hubungan saya dengan dunia luar. Saya mengikuti kebiasaan penduduk setempat yang mandi dengan air sungai yang keruh – dengan sedikit keistimewaan, yaitu di dalam kamar mandi yang berdinding dan berlantai kayu di dalam bedeng.
Tanpa kelebihan sarana dan infrastruktur, menurut ukuran hidup masyarakat kota besar yang saya kantongi, selama saya tinggal di Kampung Aurina I, ternyata hidup saya menjadi lebih tentram dan tenang, sebagaimana penduduk kampung tersebut lantaran tidak terusik sama sekali oleh keadaan bahwa kekurangan merupakan sesuatu yang harus disesali atau diratapi. Penduduknya tampak tetap bersemangat melangsungkan kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan dengan kunjungan Bupati Jayapura dan jajarannya, tak sedikit pun mereka mengeluh. Mereka malah menyambut dengan menyediakan pangan (sesuai yang mereka konsumsi sehari-hari, yaitu sagu, jagung, daging rusa dan babi hutan) dan atap.
Sebagaimana penduduk Kampung Aurina I yang dapat bersahabat dengan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya – walaupun secara budaya tampak primitif – saya menyikapi kekurangan sebagai keadaan untuk menumbuhkembangkan kreativitas, untuk hidup bahagia dengan kesejatian diri, yang bebas kemelekatan dengan kebendaan – yang cenderung membebani ketimbang meringankan langkah kita dalam melakoni hidup ini. Di situlah letak kelebihan dari kekurangan.©
Salam, ANTO DWIASTORO