Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Satu rasa syukur yang dipanjatkan ke Langit adalah doa yang paling sempurna.” —G.E. Lessing (1729-1781)
Pada tanggal 2 Desember yang lalu, saya mengantar istri saya ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, berhubung dia harus menghadiri pernikahan salah seorang sepupunya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun saya, sehingga saya berdoa semoga hari itu akan menjadi sangat istimewa bagi saya – tetapi terserah Tuhan mau bagaimana mewujudkannya.
Saya melangkah ke anjungan pengantar (waving gallery) begitu kami berpisah di muka pintu masuk terminal keberangkatan domestik. Dari arah anjungan, saya memandang ke apron (landasan beton bandara) yang diparkiri sejumlah pesawat Boeing 737 dan Airbus A320 milik maskapai penerbangan Batavia Air. Satu pesawat Boeing 737 yang paling dekat dengan titik pandang saya berada dalam keadaan mesin mati serta tidak ada kegiatan persiapan keberangkatan di sekitarnya. Tiba-tiba terlintas rasa penasaran yang sudah lama bersemayam pada diri saya akan sesuatu yang sangat sepele: Bagaimana sih pesawat jet berbadan lebar distarter mesinnya? Apakah seperti menyalakan mesin mobil atau sepeda motor? Sebab, selama ini, saya selalu saja menjumpai pesawat jet komersial berbadan lebar, jika tidak dalam kondisi siaga berangkat dengan mesin jetnya meraung-raung memekakkan telinga, ya terparkir diam dan membisu di bagian dari bandara yang disebut ramp.
Hanya dalam hitungan menit sejak rasa penasaran itu melintas, saya melihat seorang pria berseragam pilot berjalan cepat ke arah pesawat yang sedang ‘berdiam diri’ itu, menaiki tangganya, dan sebentar kemudian saya melihat silhuet pria itu di balik jendela kokpit, dengan kedua tangannya bergerak ke sana ke mari, memencet tombol-tombol instrumen kendali pesawat. Tak lama kemudian, saya tersentak: Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri proses penstarteran mesin jet dari sebuah pesawat komersial berbadan lebar. Dan saya sangat bersyukur karena pengalaman langka itu terjadi pada hari ulang tahun saya! Bagi saya, itu sungguh istimewa. Untuk sebuah hal sepele saja, Tuhan memperlakukannya secara serius, bahkan dua rius, tiga rius, malah seribu rius. Dari pengalaman sepele itu, saya mendapat kepahaman bahwa doa, bila dipanjatkan secara serius, dengan niat dan keyakinan sungguh-sungguh akan pengabulannya, maka Sang Penjawab Doa akan memperlakukan doa kita secara berlipat-lipat seriusnya – seribu rius!
Selanjutnya, saya membatinkan doa, “Ya Allah, perkenankanlah aku membagi pengetahuanku kepada siapa saja yang membutuhkan.” Kontan, saya didekati seorang bapak tua, yang berada di bandara dalam rangka mengantar anaknya yang akan berangkat ke Medan. Dia berasal dari Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang dari penampilannya mengesankan dirinya ‘orang udik’. Dia mengaku bahwa saat itu baru pertama kalinya ngeh dengan yang namanya bandara dan pertama kalinya pula melihat dari dekat benda bernama pesawat terbang. Dia pun mengajukan pertanyaan bertubi-tubi terkait bandara dan masalah penerbangan, yang segera menyadarkan saya akan doa yang barusan saya batinkan. Secepat itu dikabulkanNya!
Seperginya bapak tadi, saya masih berdiam di anjungan pengantar dan larut dalam kebahagiaan karena Tuhan telah menjadikan hari ulang tahun saya demikian spesial, serta retrospeksi yang menimbulkan introspeksi berkelanjutan.
Pada akhir bulan Oktober lalu, mendadak sontak timbul keinginan yang kuat pada diri saya untuk memiliki sebuah laptop Apple MacBook Pro 13” untuk mendukung pekerjaan saya yang didominasi eksplorasi kreatif. Teriring pengremehan dan pengraguan dari sejumlah kerabat dan relasi saya, mengingat laptop Mac tergolong ‘barang mahal’ sedangkan secara finansial saya termasuk golongan pengusaha ‘ekonomi memble’, tak surut hasrat saya untuk mewujudkan impian saya memiliki sebuah laptop MacBook Pro. Saya sendiri heran dengan diri saya: kok demikian nekat saya hendak menginvestasikan modal demi sebuah laptop. Namun, prinsip saya untuk selalu berpikir besar (think big), bersikap seribu rius dalam doa maupun usaha, membuat saya tak mundur sejengkal pun dari niat saya membeli MacBook Pro.
Potongan iklan cetaknya di koran, yang bertajuk Meet the New MacBook Pro, saya tempelkan pada whiteboard di kamar tidur saya, dan setiap kali akan berangkat menjemput nafkah, saya tatap potongan iklan itu laksana koboi yang siap mencabut pistolnya untuk menembak lawan duelnya, dan berucap dengan suara yang mantap, “Suatu hari kau akan menjadi milikku!” Selebihnya adalah ikhtiar dibarengi doa dengan niat serius, dua rius, tiga rius… Seribu rius!
Pada 21 November 2009, tergerak hati saya untuk mengunjungi Apple Authorized Premium Reseller di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, untuk sekadar melihat-lihat dan mencobai MacBook Pro, mudah-mudahan dapat mencambuk semangat saya untuk berusaha lebih keras agar mampu membeli laptop canggih itu. Tak dinyana, menjelang akhir tahun harganya rupanya sedang turun. Saya merasa pantat saya ditendang Gusti Allah yang menghardik, “Jika kamu meyakini sesuatu jangan ragu-ragu untuk mewujudkannya dan Aku akan membantumu!”
Saya pandangi dan raba-raba MacBook Pro yang ditampilkan di atas meja peraga itu. Tergeletak memunggunginya adalah laptop MacBook White 13” dengan spesifikasi yang tak jauh beda dari Pro (diperkuat oleh informasi dari pihak reseller sendiri). Suara batin saya pun mengemuka: “Ya, ini (MacBook Pro) tepat untukmu, tapi bukan sekarang.” Rasa penyerahan yang ikhlas segera menyeruak dalam diri saya dan tanpa perlawanan atau penentangan, walaupun istri saya sudah memastikan bahwa ada dana dalam simpanan kami untuk membeli Pro, saya akhirnya memilih MacBook White. Utamanya karena saya tidak mau menipu diri sendiri. Sebagian besar dari kebutuhan saya akan laptop MacBook adalah untuk mendukung pekerjaan saya sebagai penulis, yang tidak setiap waktu memanfaatkan aplikasi-aplikasi hiburan atau grafis di dalam alat itu.
Serangkaian pengalaman ini, dan kepahaman-kepahaman batiniah yang menyertainya, membuat saya semakin yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan doa kita, asal kita sabar, bersyukur dan selalu berusaha secara serius, dua rius, tiga rius, bahkan seribu rius.©