Oleh Anto Dwiastoro Slamet
"Sekali Anda membuat keputusan, seluruh alam bersatu agar keputusan itu terjadi."
—Ralph Waldo Emerson
“Anda memiliki pikiran yang sangat hebat yang dapat membuat apa pun terjadi sepanjang Anda tetap fokus.”—Dr. Wayne W. Dyer
Saat saya memasuki usia ke-40, satu setengah tahun yang lalu, saya senantiasa mencamkan dalam pikiran saya bahwa aslinya saya berusia sepuluh tahun lebih muda dari itu, dan menyadari bahwa usia/waktu hanyalah bentukan budaya. Alhasil, setiap ketemu orang-orang baru yang menanyakan berapa umur saya, mereka rata-rata tidak percaya kalau saya married guy berusia 40 tahun. Saudara Subud saya yang usianya berkepala dua bahkan mengira saya seusia dirinya. Saat itu, saya tidak tahu, mengapa orang-orang menganggap usia saya sepuluh tahun lebih muda dari aslinya.
Nah, kemarin baru saya menyadarinya. Kemarin pagi, 14 Juli 2009, setelah mandi saya bercermin. Entah mengapa, saya merasa positif bahwa badan saya kurusan. Istri saya hanya tertawa, tidak menganggap pernyataan itu serius, mengingat tiga hari sebelumnya saya mengeluh padanya bahwa saya tampak kelewat gemuk.
Saya lalu ke kantor butik kreatif tempat saya bekerja sebagai penulis freelance. Satpam yang menjaga di lobi spontan berucap, “Pak Anto sekarang kurusan ya!” Saya terkejut, karena anggapan Satpam itu kok sama ya dengan apa yang saya pikirkan beberapa jam sebelumnya. Jangan-jangan, ekspresi bahwa kita adalah seperti apa yang kita pikirkan memang merupakan hasil dari pengalaman praktis sehari-hari manusia.
Ingatan saya pun terlontar ke momen-momen yang telah lewat. Waktu masih berstatus mahasiswa Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, saya pernah menjadi koordinator seksi ketertiban dalam acara OPSPEK bagi mahasiswa baru angkatan 1992. Dalam melaksanakan tugas, saya sempat bersitegang dengan salah seorang ketua himpunan mahasiswa jurusan yang tidak termasuk panitia OPSPEK tetapi ikut terlibat dalam memlonco mahasiswa baru, yang berbuntut tantangan untuk duel usai acara. Saya terima tantangan itu; saya camkan dalam pikiran bahwa saya tidak membencinya dan bahwa saya hanya menjalankan tugas.
Duel itu tidak pernah terjadi. Saya sudah menunggu di tempat yang kami sepakati bersama, tetapi penantang saya tidak pernah muncul. Beberapa hari kemudian, lewat kawan saya ia menitipkan salam dan pesan supaya saya senantiasa memelihara integritas dan kebaikan hati yang ia rasakan terpancar dari diri saya. Ia juga ingin menjadi teman saya karena itu. Nah lho!
Berulang kali saya melewati momen di mana saya memikirkan diri saya sebagai likable person, yang menyebabkan bukan saja saya selalu berhasil memenangkan pitching – utamanya yang diproses melalui presentasi tatap muka langsung, hubungan saya dengan klien pun menjadi langgeng dan dilandasi persahabatan, saling percaya dan saling memahami. Cewek-cewek, yang saya kenal maupun asing, juga tak jarang melontarkan ‘undangan’, baik secara eksplisit maupun implisit. Saya berhasil menghindarinya karena cincin emas yang melingkar di jari manis tangan kanan saya sangat kuat memancarkan energi kesetiaan pada istri saya.
Jadi, kalau Anda, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba membayangkan wajah seseorang (bahkan yang mungkin tidak Anda sukai) dengan begitu intensifnya, kemungkinan besar orang itu sedang memikirkan Anda. Begitulah dahsyatnya pancaran pikiran kita.
Dengan kenyataan ini, mestinya kan semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi kok nyatanya tidak begitu. Menurut hemat saya, kebanyakan orang meragukan mereka sendiri. Di kalangan umat beragama saja tak sedikit yang meragukan bahwa Tuhan berkenan mengabulkan doa mereka. Hal ini disebabkan oleh cara berpikir yang keliru. Sebagian besar kita dididik bahwa mukjizat hanya hinggap pada para nabi (saya berulang kali dikoreksi orang karena saya menggunakan istilah yang menurut ‘aturan buatan manusia’ hanya khusus untuk para nabi ini), bahwa Tuhan tidak mendatangkan suatu nikmat secara sim salabim abrakadabra layaknya pesulap, dan bahwa perubahan dari kondisi melarat jadi konglomerat hanya ada dalam dongeng Hans Christian Andersen, sehingga pikiran kita, tanpa kita sadari, terancang untuk selalu menomorsatukan ketidakmungkinan. Lama-lama, ini mengakar di pikiran bawah sadar kita, sehingga tatkala Anda berusaha berpikir positif, tak pelak pikiran negatif akan selalu menyela.
Ada juga orang-orang yang memang tidak mau mendorong dirinya untuk berpikir tentang kebaikan/kebermanfaatan bagi dirinya. Saya pernah menceritakan pengalaman memperoleh uang yang banyak (melalui berbagai pekerjaan yang tiba-tiba menghampiri saya) tidak lama setelah secara intensif saya melakukan ‘semadi uang’, yang secara pribadi saya sebut ‘meduitasi’ (memeditasikan duit). Orang-orang yang mendengar cerita saya ini bukannya terdorong untuk melakukan hal yang sama, tetapi malah mengemis.
Kiranya kita bisa menaklukkan orang lain atau menguasai keadaan – untuk tujuan-tujuan yang positif, tentu saja, karena semua perbuatan akan bertolak kembali ke kita – tanpa harus unjuk kekuatan sakti mandraguna, tanpa menggunakan senjata ataupun menggelar permusuhan. Kita cukup mengandalkan pikiran yang daya pancarnya langsung atau tidak langsung (dengan membuka akses kepada berbagai sumber daya yang relevan hingga membentuk – meminjam gagasan Robert Scheinfeld dalam The 11th Element (Unsur Ke-11) – Mengaktifkan Kekuatan Batin Anda untuk Menderaskan Kesuksesan dan Kekayaan (Jakarta: Serambi, 2005) – suatu jejaring tak kasat mata (invisible network) mengarah kepada apa atau siapa yang kita pikirkan.©
Salam,
ANTO DWIASTORO