Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Orang-orang yang menunggu dipilih, dan bukan mereka yang mencari, yang bisa kita harapkan bantuannya yang paling efisien.”— Ulysses S. Grant (1822-1885), Personal Memoirs of U.S. Grant, Bab 46
Salah seorang saudara Subud saya, waktu baru masuk Subud, dengan girang mengatakan bahwa para anggota Subud itu adalah orang-orang pilihan Tuhan. Ini adalah ekspresi yang wajar; siapa pun yang baru menempuh jalan spiritual atau umat beragama yang baru mendapat pengalaman ajaib melalui ritual ibadahnya, yang – meminjam judul terjemahan buku William James – dimaknai sebagai ‘perjumpaan dengan Tuhan’, akan merasa dirinya orang pilihan Tuhan.
Tidak mau membahas hal itu secara serius – terutama karena di jalan spiritual segala sesuatu berlalu begitu cepat, berganti dengan pengalaman-pengalaman dan pemahaman-pemahaman baru, saya mengiyakan pernyataan saudara Subud itu seraya menambahkan, “Benar, Pak. Kita ini orang-orang pilihan. Ada yang dipilihNya masuk surga, dan ada yang dipilih Tuhan jadi penghuni neraka.” Saudara Subud itu tersenyum kecut, sedang saya santai saja karena saya murni bercanda, tidak bermaksud apa-apa. Perkataan saya saat itu tidak ada maknanya.
Namun, belakangan ini, saya baru memahami bahwa kata-kata yang saya maksudkan sebagai lelucon tiga tahun yang lalu itu ternyata punya makna mendalam. Kita semua, tak hanya anggota Subud, bukan cuma pemeluk agama tertentu saja, memang orang-orang pilihan; kita dipilih Tuhan untuk menjalankan peran-peran tertentu, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.
Anda atau saya mungkin tidak menyadari – umumnya, sih, kita tidak menyadari, kecuali setelah melewati suatu kejadian dan kita berintrospeksi serta beretrospeksi. Tetapi orang lain, yang mampu memaknai kehidupan dengan kearifan dapat menandai hal itu pada diri kita.
Ada orang-orang yang separo hidupnya mencari keberadaan guru-guru kebijaksanaan ke segala penjuru dunia, mengejar yang namanya ‘ilmu hidup’, menggapai kearifan. Menurut saya, guru-guru itu tidak ada di ujung dunia; peta untuk mencarinya bukan berdasar petunjuk tertulis/tergambar yang ada di luar kita, terpisah dari kita. Ia ada di dalam diri kita – yang namanya ‘kearifan’. Sedang guru-guru yang dimaksud adalah orang-orang yang ada di sekitar kita, siapa pun dia, apa pun gelar dan statusnya, berapa pun usianya.
Mungkin Anda pernah terusik terus-menerus dengan keberadaan orang-orang yang selalu menjengkelkan Anda. Saya beberapa kali menghadapi situasi semacam ini, membuat saya bukannya segera menyadari, malah kian benci. Seiring berjalannya waktu, saya mendapat kepahaman bahwa orang-orang itu hakikatnya sedang memberi saya pelajaran tentang cara bersikap: jangan membenci, sebab kebencian itu akan bertolak kembali ke saya! Tuhan memilih orang-orang tersebut agar menyampaikan ajaranNya ke saya, jangan mudah membenci.
Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan yang suasananya sangat menyenangkan, sehingga membuat saya tidak ingin ‘pindah ke lain hati’. Tetapi di tim saya terdapat orang, yang saya anggap virus – yang kehadirannya membuat saya tidak betah berlama-lama di kantor. Saya tidak dapat berbuat apa-apa karena dia senior saya dan menjadi andalan perusahaan. Akhirnya, saya pun terdepak, meninggalkan kenyamanan bekerja di perusahaan tersebut, tetapi sebaliknya membawa serta dendam kesumat kepada orang tadi.
Empat belas tahun kemudian, ketika menengok kembali perjalanan karier saya, dan apa-apa yang sudah saya lalui, sejak ditendang keluar dari perusahaan itu, saya bersyukur. Tuhan memilih orang tadi untuk memberitahu (baca: membuka kesadaran saya) bahwa Dia sudah melimpahkan begitu banyak peluang untuk saya, yang bakal lewat begitu saya seandainya saya terus bertahan di perusahaan tersebut.
Masih banyak lagi orang-orang pilihan Tuhan di sekitar saya dan Anda, dengan berbagai macam perangai dan tingkah laku. Umumnya, mereka tidak kita sukai, tetapi kalau kita tidak melekat dan bersedia memaknai dengan kearifan, dalam prosesnya kita akan menginsafi bahwa mereka dipilih untuk mengajar kesabaran dan keikhlasan kita. Saya percaya pilihan Tuhan tidak pernah salah.©
Salam,
ANTO DWIASTORO