Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Hidup akan menemukan jalannya sendiri.” —Dr. Ian Malcolm, dalam film Jurassic Park
“Rasa tidak bahagia adalah karena kita mengelak dari realitas yang sebenarnya harus kita hadapi.” —Buddha Gautama
Pagi hari ini, 8 Juli 2009, sebelum menggunakan hak pilih, saya dan istri pergi mencari sarapan. Kami berlangganan pada dua penjual mi ayam pangsit yang mangkal di pinggir Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan. Selain lumayan dekat dengan kawasan tempat tinggal kami, juga karena keduanya menyajikan mi ayam dengan rasa restoran sekelas Bakmi Boy di Mayestik, namun harganya jauh di bawah harga Bakmi Boy. Kedua penjual itu berkeluarga, sehingga rasanya satu sama lain tak ada bedanya.
Kami ke sana berboncengan naik sepeda motor. Ternyata yang dekat Polsek Kemang tidak berjualan. Harapan kami tinggal pada penjual satunya lagi, di depan BCA Kemang. Ternyata, dia pun tidak berjualan. Mulailah saya menggerutu, menyesali kenapa tukang mi ayam langganan saya tidak menggelar dagangannya. “Gara-gara nyontreng nih, makanya nggak jualan,” kata saya, dan saya tahu dugaan saya itu konyol. Istri saya menenangkan, “Ya sudah, mau apa lagi? Kita cari yang lain saja.”
Kami pun melewati BCA Kemang, tidak tahu mau beli apa lagi, walaupun di sepanjang Kemang Raya banyak gerobak yang menjual aneka makanan. Tetapi hati saya melekat pada mi ayam dekat Polsek Kemang atau yang di depan BCA Kemang. Sekitar 1 kilometer dari BCA Kemang, kami menjumpai gerobak mi ayam lagi. Saya ogah-ogahan, tetapi karena ingin sekali sarapan dengan mi ayam, saya tetap mampir makan di gerobak itu. Lama-lama, saya capek juga menentang kenyataan bahwa kedua penjual mi ayam langganan saya tidak berjualan hari ini.
Begitu saya sampai pada kesadaran itu, mi ayam yang saya santap rasanya lha kok sama dengan yang dijual di dekat Polsek Kemang maupun di depan BCA Kemang. Gara-gara mi ayam, saya mendapat kepahaman bahwa kemelekatan pada segala sesuatu bikin kita merugi. Melekat membuat kita penat!
Tanpa kita sadari, apa saja yang kita pikirkan dan rasakan, apa pun yang kita katakan maupun perbuat dapat membuat kita melekat padanya. Mungkin saja kita tidak mau, tetapi kita cenderung membiarkan diri kita melekat, karena kita tidak tahu.”
Keluarga, pasangan, kekayaan, kemiskinan, kesuksesan, kegagalan, agama, kepercayaan, sikap, perilaku, kebaikan, keburukan, makanan, ide, karya, tubuh kita – apa saja, semua itu, percaya atau tidak, adalah sumber kemelekatan kita. Padahal, sejatinya semua itu akan berlalu. Dan apabila kemelekatan sudah meliputi diri kita, dijamin deh kita bakal susah menerima kenyataan. Kita bakal sulit berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Kita tidak mau melepaskan apa yang sudah kita miliki, karena kemelekatannya sudah demikian ketat bagai ditempel dengan perekat keras, yang apabila dipaksakan untuk dicabut akan menimbulkan sakit luar biasa.
Kawan saya bercerita tentang dirinya yang sepenuhnya percaya pada Tuhan. “Lu percaya kan kalau Tuhan mengatur hidup kita?” tanya saya. Ia meyakinkan saya bahwa ia meyakini hal itu. “Jadi, lu percaya kan kalau Tuhan bisa membalikkan hati manusia?” Lagi-lagi, ia meyakinkan saya bahwa ia percaya. “Nah, kalau Tuhan membalikkan hati lu supaya lu nggak percaya lagi sama Dia, lu siap nerima nggak?”
“Amit-amit jabang bayi!” seru kawan saya, lantas larut dalam kebingungan. Jika Anda tanyakan hal itu pada saya, saya juga tidak bisa menjawab dengan pasti, tetapi akan saya serahkan diri pada kehendakNya. Saya sudah lama melepaskan pengetahuan akan Tuhan bikinan manusia: dikatakan oleh ulama dan pendeta bahwa Dia Maha Bisa, tetapi tidak bisa begini, tidak bisa begitu; ini melanggar kehendakNya, itu tidak sesuai dengan sifatNya. Siapa diri kita sampai merasa berhak mengutak-atik Dia Yang Menciptakan kita?
Berbuat baik saja dapat membuat kita melekat. Ada orang-orang yang sampai berdoa, “Ya Tuhan, jangan Engkau matikan aku sebelum aku berbuat baik di dunia ini.” Lha kok sama Tuhan tawar-menawar?! Berbuat baiklah Anda, dan rasakan nikmatnya. Begitu nikmatnya rasa itu sehingga Anda ingin mengulanginya lagi. Saat itulah muncul nafsu – nafsu untuk berbuat baik, yang jika dibiarkan akan mencelakakan Anda. Anda tidak akan siap menerima kenyataan kalau suatu saat berbuat baik tidak ada nikmatnya sama sekali, atau Anda malah dicaci-maki orang yang padanya Anda tujukan perbuatan baik Anda, atau suatu saat Anda berbuat buruk. Sakitnya tak tertahankan.
Kita terus bertransformasi. Itu adalah hukum alam. Satu-satunya yang tetap dalam hidup ini adalah perubahan. Dahulu, saya bersikeras, menjadi copywriter adalah terminal terakhir saya, sehingga menutup mata terhadap peluang-peluang lain, yang seringnya memang tidak berbaju berkilauan sebagaimana baju profesi saya saat itu. Saya terbuai dengan nikmatnya penghargaan iklan, senangnya melihat iklan karya sendiri ditayangkan. Saya lupa bahwa di atas langit yang saya pijak saat itu masih ada langit lainnya.
Saya kemudian masuk ke lingkungan masyarakat yang kebiasaan bacanya rendah, sehingga peran copywriter menjadi kurang signifikan. Saya kecewa sekali atas rendahnya apresiasi lingkungan saya saat itu terhadap profesi copywriter. Saya lalu bernafsu jadi creative director terkenal, yang malah ditanggapi kawan saya dengan pertanyaan, “Setelah itu lu mau ngapain?” Setelah 15 tahun, saya pun menengok ke belakang. Tidak, menjadi copywriter ternyata bukan terminal terakhir saya, dan kini apa pun yang lewat akan saya sambut, manfaatkan sebaik-baiknya, dan siap melepasnya apabila sudah tiba waktunya.
Ya, saya sekarang sedang bereforia sebagai travel writer, namun dengan keinsafan bahwa suatu saat ini pun akan berakhir, entah dengan kematian saya, atau dengan hadirnya tawaran menarik lainnya yang bisa diberikan hidup. Terserah saja, takkan saya biarkan kemelekatan merundung diri saya.
Kemelekatan menghalangi langkah kita untuk sampai ke titik nol, dan dengan demikian membuat kita makin menderita hidup di dunia. Melekat memang bikin penat.©
Salam, ANTO DWIASTORO S.