Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“…kebaikan dari kehendak tergantung pada niat dari tujuannya.” —Santo Thomas Aquinas (1225-1274), Summa Theologica
Pada September 2006, ketika akan berangkat ke Solo menumpang pesawat dari bandar udara Soekarno-Hatta Jakarta, saya sempat mengalami masalah di bagian pemeriksaan barang bawaan ketika saya akan menuju boarding room. Pasalnya, petugas keamanan mendeteksi benda yang tergolong senjata tajam di tas ransel saya. Saya lupa menyingkirkan pisau lipat dari salah satu kantong tas ketika masih di rumah. Saya pun diperintahkan untuk melaporkannya ke meja yang ditunjuk untuk menyita barang-barang terlarang dan berbahaya di bandara. Secara bercanda, saya katakan ke petugas di belakang meja tersebut, “Tanpa pisau itu, saya tetap bisa membunuh orang.” Yang penting the man behind the gun-nya, bukan gun-nya, batin saya sambil tersenyum santai kepada si petugas.
Saya ingat ketika masih aktif berlatih seni bela diri asal Korea, Taekwondo. Saya diajarkan berbagai teknik untuk memukul, menendang dan menggunakan senjata. Tanpa teknik yang tepat serta kandungan emosi (emotional content) dari pihak pelaku, maka pukulan, tendangan dan senjata semaut apa pun takkan menyakiti, bahkan tak ada gunanya. Jadi, dalam seni bela diri pun, yang penting adalah the man behind the gun-nya, siapa yang berada di balik senjatanya.
Kita sering keliru menempatkan sesuatu pada proporsinya. Bila anak suka kekerasan, kontan saja media cetak dan elektronik atau games yang disalahkan. Acara televisi dituding tidak mendidiklah, gunting sensor kurang tajamlah, pemerintah tidak membatasi peredaran film-film dan games sarat kekerasanlah, dan lain-lain anggapan. Facebook didakwa sebagai penyebab keretakan rumah tangga serta membuat orang lupa salat, sampai fatwa mengharamkan Facebook pun dikeluarkan. Seingat saya, dulu-dulu sebelum ada Facebook tidak sedikit orang yang tidak atau lupa salat. Faktor the man behind the gun tidak pernah disentuh, sehingga yang muncul adalah reaksi-reaksi konyol nan tolol dari berbagai pihak yang tidak pada proporsinya.
Waktu kecil, saya memperoleh didikan yang cukup keras dari kedua orang tua saya, dan lingkungan tempat saya melewati masa kecil saya – Negeri Belanda – juga kondusif untuk melestarikan model pendidikan yang diterapkan orang tua saya. Jam 9 malam saya sudah harus masuk kamar. Jika acara TV menayangkan kekerasan dan seks, orang tua akan menggantinya ke saluran ‘Semua Umur’, atau saya disuruh tidur. Saya amat segan pada orang tua dalam hal mematuhi aturan yang mereka buat, karena mereka sendiri konsisten menerapkannya serta memberi teladan, sehingga saya tidak berani dan malu apabila melanggar.
Di era teknologi informasi ini, bukannya mencari ilmu sebanyak mungkin, orang malah lebih suka mencari kambing hitam. Itu memang lebih mudah dilakukan daripada mengintrospeksi diri, memeriksa diri sendiri. Para pemuka agama-agama yang diharapkan bisa bersikap arif dan bijaksana tak ada bedanya dengan para orang tua yang sukar diharapkan dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Semua melimpahkan kerusakan moral umat kepada gun, bukan kepada the man behind the gun. Padahal, kalau memang menganggap suatu tontonan tidak mendidik, ya mudah saja solusinya: jangan ditonton atau larang anak Anda untuk menontonnya, seperti yang dilakukan kedua orang tua saya dahulu. Media kan menyasar semua khalayak; Anda tidak bisa seenaknya mengatur-atur media untuk kepentingan Anda sendiri atau kepentingan kelompok. Yang bisa Anda atur adalah diri Anda sendiri, keluarga atau kelompok Anda. Saya perhatikan bahwa orang tua maupun pihak berwenang dewasa ini bisanya hanya mengatur, tetapi tidak bisa konsisten serta memberikan contoh melalui diri mereka sendiri. Ujung-ujungnya, ya itu tadi, kambing hitam dicari-cari.
Tak bakal ada asap jika tak ada api, tidak ada akibat jika tidak ada penyebabnya. Manusia sering membutuhkan sarana atau alat untuk membantunya dalam mewujudkan maksud-maksudnya. Maksud-maksud itu bisa baik, bisa pula jahat, tergantung dari niat di baliknya. Sarana tetaplah sarana, alat tetaplah alat; mereka tidak dapat dipersalahkan. Kartu kredit, handuk, tali, bahkan anggota badan kita adalah benda-benda ‘tak berdosa’ yang dapat berujung maut di bawah kendali orang yang ahli namun berniat jahat.
Seperti dinamit temuan Alfred Nobel (1833-1896) merupakan alternatif yang aman untuk menggantikan bubuk mesiu dan nitrogliserin dan dimaksudkan Nobel bukan sebagai alat pembunuh. Namun, dalam perkembangannya, dinamit digunakan oleh orang-orang yang berniat jahat untuk melukai bahkan membunuh orang lain, sehingga sebuah obituari prematur atas diri Nobel yang diterbitkan oleh sebuah koran Prancis menyalahkan sang penemu: “Dr. Alfred Nobel, yang menjadi kaya dengan menemukan cara-cara untuk membunuh lebih banyak orang lebih cepat daripada sebelumnya, meninggal kemarin.” Untuk menebus rasa bersalahnya, Alfred Nobel mewasiatkan agar sebagian besar kekayaannya disisihkan untuk Hadiah Nobel.
Semuanya tergantung niat dan integritas. Dengan niat yang baik dan integritas yang mapan, pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan akan menjadi bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.©
Salam, ANTO DWIASTORO