Oleh Anto Dwiastoro Slamet
"Jangan tinggal di masa lalu, jangan memimpikan masa depan, konsentrasikan pikiran pada saat ini." -- Buddha Gautama
Salah seorang bibi saya adalah seorang dokter yang pernah bertugas di sebuah kampung di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kampung itu begitu terpencilnya, sehingga sulit diakses bantuan obat-obatan. Bibi saya pun praktik medis di sana berbekal ilmu 'tanggap darurat' yang dipelajarinya di fakultas kedokteran; cara-cara untuk memberi pertolongan pertama yang sepintas bisa dianggap tidak biasa dari kacamata ilmu kedokteran modern. Selain berbekal ilmu tersebut, beliau juga memperoleh pengalaman dalam hal mengatasi penyakit-penyakit tertentu dengan metode tradisional yang telah diterapkan penduduk setempat dari generasi ke generasi. Dari sudut pandang layanan medis profesional, mungkin bibi saya itu bisa dianggap melakukan malpraktik. Tapi dari sisi pertimbangan moral, dalam menghadapi kasus-kasus medis yang membutuhkan penanganan segera, tidak ada kata 'nanti' atau 'tunggu bantuan dari pusat' dalam kamus beliau.
Banyak hal dalam kehidupan kita tidak jarang membutuhkan penanganan segera. Ibarat setitik api jika dibiarkan akan menjadi besar dan mengancam jiwa kita, persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial kita pun seyogianya tidak dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan yang cepat dan tepat. Penundaan dalam penyelesaiannya hanya akan menimbulkan persoalan baru.
Penyelenggaraan organisasi merupakan salah satu dari sekian banyak bidang kehidupan sosial yang kerap menghadapi persoalan yang berdimensi pertikaian. Adalah wajar jika kita sesekali bertikai, karena toh kita masing-masing mempunyai kepentingan, kebutuhan dan keinginan yang tidak mungkin diseragamkan. Yang tidak wajar adalah jika pertikaian itu menjadi berlarut-larut, lalu membesar dan meluas karena masing-masing pihak yang bertikai mulai mencari dukungan. Organisasi semacam ini biasanya diketuai oleh orang yang tidak memiliki kemampuan memimpin dan kewibawaan yang mampu mengayomi anggota. Ia cenderung menyelamatkan dirinya sendiri, menghindari penyelesaian masalah segera dengan berlindung di balik AD/ART. Biasanya, ia hanya bisa mengatakan -- yang saking klisenya hingga sulit untuk dianggap sebagai pernyataan diplomatis: "Nanti saja, pas musyawarah nasional kita selesaikan masalah ini." Bila Anda kebetulan ketua organisasi tipe ini, belajarlah sebanyak-banyaknya dari para dokter UGD (unit gawat darurat), dinas pemadam kebakaran, komandan pasukan tempur, pilot, atau siapa pun yang tidak mengenal kata 'nanti' dalam kamus profesi mereka ketika menghadapi persoalan.
Ini dari semua ini adalah senantiasa belajar dari kehidupan. Persoalan datang tanpa pernah mengetuk pintu terlebih dahulu, sehingga kita perlu selalu siap untuk menyambutnya dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu, belajar sebanyak-banyaknya akan menyediakan bagi kita himpunan solusi kreatif atas segala masalah.
Saya pernah bekerja pada sebuah biro iklan di Surabaya yang presiden-direkturnya berlatar belakang pendidikan kedokteran, tapi belum pernah praktik, apalagi di UGD. Sang Presdir acapkali memerlukan proses yang bertele-tele bahkan dalam penyelesaian masalah genting yang dihadapi perusahaan. Sedangkan saya, selaku creative director, dan kawan saya yang menjadi general manager biro iklan tersebut, karena lama menggeluti bidang kreatif, yang mengajarkan kami untuk memberikan solusi 'lain daripada yang lain', cenderung berpikir dan bertindak secara lateral. Dalam rapat manajemen sang Presdir memerintahkan kepada kami runtunan langkah yang harus kami tempuh secara berurutan. Karena ia jarang sekali terlibat langsung dalam operasional perusahaan, dan jarang pula berada di kantor, maka saya dan general manager memasukkan langkah-langkah runtun-vertikal itu ke dalam tong sampah di pikiran kami dan menempuh cara kami sendiri: penyelesaian masalah secara lateral.
Penyelesaian masalah secara lateral memberi tekanan pada skala prioritas; dahulukan yang paling mendesak untuk diselesaikan. Itu membutuhkan kecermatan kita dalam memilih serta pertimbangan yang ekstra cepat, karena keputusan harus segera diambil. Keliru dalam menetapkan prioritas bisa mengakibatkan masalah yang sesungguhnya mendesak untuk diselesaikan semakin membesar intensitasnya, lalu menghambat langkah-langkah penyelesaian lainnya. Latihan Taekwondo saya selama dua puluh tahun amat membantu dalam hal ini; dalam pertarungan bebas, para taekwondoin dituntut untuk memutuskan dalam hitungan detik tangkisan/serangan apa yang harus dilancarkannya dalam menghadapi tangkisan/serangan lawan; terlambat satu detik saja bisa mengakibatkan kaki lawan bersarang di rahang Anda sebelum Anda sempat menyadarinya. Tapi bukan pertarungan itu sendiri yang memberi saya kemampuan mengambil keputusan dalam sekejap. Di Taekwondo, seperti halnya dengan bentuk-bentuk seni bela diri lain, terdapat latihan meditasi (zazen joonbi) yang bertujuan untuk memantapkan pikiran pada apa yang bakal kita kerjakan, dan bukannya memikirkan hal-hal lain yang tidak relevan.
Kini, agresivitas saya sudah menurun, sehingga saya tidak lagi terlalu bergantung pada pengalaman saya sebagai taekwondoin, dan menggantinya dengan Latihan Kejiwaan, yang fleksibel dengan kondisi fisik dan pertumbuhan mental saya.
Perilaku menunda-nunda perbuatan yang berlandaskan kebaikan tampaknya tidak mengalami penundaan ketika merembes ke dalam pola kebiasaan hidup kita sehari-hari. Kebanyakan kita berpikir untuk jadi kaya dahulu untuk bersedekah; menantikan jabatan dahulu untuk berbuat bagi kemaslahatan banyak orang; menunggu kemarahan orang lain reda dahulu sebelum kita minta maaf; menunggu tua dahulu sebelum berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan; dan 'nanti-nanti' lainnya. Di lingkungan Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Subud, saya pernah melontarkan isu bahwa saya akan mencalonkan diri menjadi ketua Subud Youth pada Kongres Nasional tahun 2009. Reaksi yang muncul sesuai dengan yang sudah saya perkirakan sebelumnya: tudingan, baik langsung maupun tidak langsung, bahwa saya ambisius dengan jabatan struktural di keorganisasian Subud segera menerpa saya. Sambil tertawa, saya merespons, "Tanpa jadi Ketua Youth aja gue bisa minta pertolongan Tuhan untuk mengajak Youth bekerja sama, memberdayakan diri mereka. Ngapain nunggu tahun 2009, sekarang aja bisa kok!" Latihan Kejiwaan memampukan saya untuk memimpin diri sendiri (self-leading), dan kata Philip Massinger, yang dikutip Stephen Covey pada halaman 97 dari bukunya, The 8th Habit -- Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Jakarta: Gramedia, 2005), "Siapa pun yang ingin memimpin orang lain pertama-tama harus menguasai dirinya sendiri."
Mudah-mudahan muatan tulisan ini ada manfaatnya bagi Anda. Bila tidak, segera hapus saja dari kotak masuk akun e-mail dan pikiran Anda. Jangan menunggu lain waktu![]
Mampang Prapatan -- Jakarta Selatan, 31 Maret 2008
2 komentar:
kenapa semua tulisan orang lain yaaa?????
ya maap, karena saya saat ini bisana baru ngeposin tulisan orang lain :D semoga satu saat bisa ngeposin orisinil tulisan sendiri ....
Posting Komentar