Oleh Anto Dwiastoro Slamet
Pada Jum’at siang, 27 Februari 2008, saya dan istri memenuhi undangan klien saya, sebuah perusahaan komunikasi pemasaran yang berlokasi di kawasan Senen, yang ingin menggunakan jasa saya selaku copywriter. Sebagai langkah awal perkenalan, klien itu ingin meng-entertain saya, dan diundanglah saya dan istri untuk menikmati dim sum all you can eat di restoran Golden Ming yang berada di bawah atap Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Meski all you can eat, pengunjung menerima sajiannya secara bertahap, tidak langsung semuanya. Sajian tahap pertama terhidangkan di meja kami kurang lebih lima belas menit sejak kami duduk di meja yang kami pilih. Kami menikmatinya tanpa kendala, dan dengan sendirinya kami merasa puas. Kami lantas pesan untuk tahap keduanya, lewat waiter yang rupanya masih trainee. Karuan saja, pesanan tahap kedua ini tidak tiba di meja dalam waktu yang cukup lama. Namun, saya, istri dan klien saya begitu asyik mengobrol sampai nyaris lupa bahwa pesanan kami belum datang juga.
Bagaimanapun, sengsara juga menunggu pesanan tahap kedua datang. Yang tiba-tiba menyadarkan masing-masing dari kami bahwa pesanan tahap kedua belum datang adalah bunyi keroncongan yang berasal dari perut kami. Pada saat itu pula, pelayan yang lebih senior muncul menanyakan, apakah ia sudah boleh menghidangkan menu dim sum tahap kedua. Kami jelaskan padanya, bahwa pesanan itu sudah kami ajukan sejak kurang lebih setengah jam sebelumnya kepada si pelayan trainee. Si pelayan senior langsung meminta maaf, karena hal itu – membuat pelanggan menunggu terlalu lama – sesungguhnya tidak boleh terjadi. Selain memanggil si pelayan trainee, si pelayan senior berulang kali menegaskan pada kami, bahwa pesanan kami akan segera datang dan lengkap bersama pesanan tahap berikutnya.
Saat lidah saya memperoleh kelezatan luar biasa dari hidangan menu dim sum tahap kedua itu, saya beroleh kepahaman: Inilah sebabnya agama-agama dan tradisi-tradisi spiritual mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dalam segala hal – buruk maupun baik. Saya berpikir, seandainya tadi kami langsung menerima pesanan tahap kedua, sementara perut kami belum mencerna benar kelompok dim sum tahap pertama, mungkin tahap kedua itu tidak akan terasa lezat. Tadinya saya cukup sengsara karena lidah saya sudah kepalang merindukan rasa dim sum. Tetapi rupanya sengsara itu membawa nikmat.
Sambil mencomot dim sum dengan sumpit dan membawanya ke dalam mulut, pikiran saya menerawang ke hal-hal lain yang bila dilakukan secara berlebihan, tidak terkendali, malah menimbulkan celaka atau akibat yang tidak baik. Bahkan kegembiraan atau kesenangan, bila berlebihan, bisa membawa dampak yang tidak baik. Semasa masih di bangku sekolah dasar hingga menengah, meski tidak terlalu pintar dalam pelajaran sekolah, saya selalu diterima di sekolah negeri -- sesuatu yang senantiasa membanggakan serta membahagiakan kedua orang tua saya, lalu dua kali berturut-turut diterima di perguruan tinggi negeri melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru yang waktu itu terkenal amat kompetitif. Diri saya terbiasa ‘terformat’ dalam kesuksesan, sampai lupa dan menolak apa pun yang bernama ‘kegagalan’.
Nah, tatkala di dunia kerja, saya mulai diperkenalkan pada berbagai kendala dan sandungan: saya acap dipecat atau pun menghadapi suasana kerja yang tidak menyenangkan, yang membuat saya kecewa hingga akhirnya mengundurkan diri. Kegagalan demi kegagalan mewarnai hidup saya sejak saya mulai memikul tanggung jawab atas diri saya sendiri. Saya tidak siap menerima kegagalan, utamanya disebabkan oleh kondisi kehidupan saya ketika masih kecil maupun saat remaja, yang ‘bebas dari kegagalan’. Akhirnya, saya pun sempat mengingkari kepercayaan saya kepada Tuhan; menganggap Tuhan tidak adil, dan saya lupa bahwa Tuhan pernah memperindah hidup saya sebelumnya dengan demikian banyak kesuksesan. Saya sudah terlalu sering sukses sampai lupa/tidak tahu rasanya gagal.
Setelah saya menempuh jalan spiritual, sukses maupun gagal datang silih berganti ke dalam kehidupan saya, yang begitu seringnya sampai saya lupa apa arti sukses, dan apa arti gagal. Pokoknya, sekarang saya jalani saja hidup ini, mudah-mudahan dimampukan Gusti Allah untuk menerimanya dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal. Saat senang saya berusaha tidak melebih-lebihkannya, saat sedih pun saya berusaha tidak melampaui batas, semata karena saya khawatir jika salah satunya berlebihan, saya bakal lupa rasa yang lainnya, sehingga lupa pula bahwa keduanya berasal dari Tuhan dan kembalinya juga kepadaNya.©
Meski all you can eat, pengunjung menerima sajiannya secara bertahap, tidak langsung semuanya. Sajian tahap pertama terhidangkan di meja kami kurang lebih lima belas menit sejak kami duduk di meja yang kami pilih. Kami menikmatinya tanpa kendala, dan dengan sendirinya kami merasa puas. Kami lantas pesan untuk tahap keduanya, lewat waiter yang rupanya masih trainee. Karuan saja, pesanan tahap kedua ini tidak tiba di meja dalam waktu yang cukup lama. Namun, saya, istri dan klien saya begitu asyik mengobrol sampai nyaris lupa bahwa pesanan kami belum datang juga.
Bagaimanapun, sengsara juga menunggu pesanan tahap kedua datang. Yang tiba-tiba menyadarkan masing-masing dari kami bahwa pesanan tahap kedua belum datang adalah bunyi keroncongan yang berasal dari perut kami. Pada saat itu pula, pelayan yang lebih senior muncul menanyakan, apakah ia sudah boleh menghidangkan menu dim sum tahap kedua. Kami jelaskan padanya, bahwa pesanan itu sudah kami ajukan sejak kurang lebih setengah jam sebelumnya kepada si pelayan trainee. Si pelayan senior langsung meminta maaf, karena hal itu – membuat pelanggan menunggu terlalu lama – sesungguhnya tidak boleh terjadi. Selain memanggil si pelayan trainee, si pelayan senior berulang kali menegaskan pada kami, bahwa pesanan kami akan segera datang dan lengkap bersama pesanan tahap berikutnya.
Saat lidah saya memperoleh kelezatan luar biasa dari hidangan menu dim sum tahap kedua itu, saya beroleh kepahaman: Inilah sebabnya agama-agama dan tradisi-tradisi spiritual mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dalam segala hal – buruk maupun baik. Saya berpikir, seandainya tadi kami langsung menerima pesanan tahap kedua, sementara perut kami belum mencerna benar kelompok dim sum tahap pertama, mungkin tahap kedua itu tidak akan terasa lezat. Tadinya saya cukup sengsara karena lidah saya sudah kepalang merindukan rasa dim sum. Tetapi rupanya sengsara itu membawa nikmat.
Sambil mencomot dim sum dengan sumpit dan membawanya ke dalam mulut, pikiran saya menerawang ke hal-hal lain yang bila dilakukan secara berlebihan, tidak terkendali, malah menimbulkan celaka atau akibat yang tidak baik. Bahkan kegembiraan atau kesenangan, bila berlebihan, bisa membawa dampak yang tidak baik. Semasa masih di bangku sekolah dasar hingga menengah, meski tidak terlalu pintar dalam pelajaran sekolah, saya selalu diterima di sekolah negeri -- sesuatu yang senantiasa membanggakan serta membahagiakan kedua orang tua saya, lalu dua kali berturut-turut diterima di perguruan tinggi negeri melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru yang waktu itu terkenal amat kompetitif. Diri saya terbiasa ‘terformat’ dalam kesuksesan, sampai lupa dan menolak apa pun yang bernama ‘kegagalan’.
Nah, tatkala di dunia kerja, saya mulai diperkenalkan pada berbagai kendala dan sandungan: saya acap dipecat atau pun menghadapi suasana kerja yang tidak menyenangkan, yang membuat saya kecewa hingga akhirnya mengundurkan diri. Kegagalan demi kegagalan mewarnai hidup saya sejak saya mulai memikul tanggung jawab atas diri saya sendiri. Saya tidak siap menerima kegagalan, utamanya disebabkan oleh kondisi kehidupan saya ketika masih kecil maupun saat remaja, yang ‘bebas dari kegagalan’. Akhirnya, saya pun sempat mengingkari kepercayaan saya kepada Tuhan; menganggap Tuhan tidak adil, dan saya lupa bahwa Tuhan pernah memperindah hidup saya sebelumnya dengan demikian banyak kesuksesan. Saya sudah terlalu sering sukses sampai lupa/tidak tahu rasanya gagal.
Setelah saya menempuh jalan spiritual, sukses maupun gagal datang silih berganti ke dalam kehidupan saya, yang begitu seringnya sampai saya lupa apa arti sukses, dan apa arti gagal. Pokoknya, sekarang saya jalani saja hidup ini, mudah-mudahan dimampukan Gusti Allah untuk menerimanya dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal. Saat senang saya berusaha tidak melebih-lebihkannya, saat sedih pun saya berusaha tidak melampaui batas, semata karena saya khawatir jika salah satunya berlebihan, saya bakal lupa rasa yang lainnya, sehingga lupa pula bahwa keduanya berasal dari Tuhan dan kembalinya juga kepadaNya.©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar