Suatu waktu, ketika masih tinggal di Surabaya, saya terburu-buru meninggalkan kantor sesaat setelah hujan deras yang turun lebih dari setengah jam reda, karena saya khawatir hujan bakal turun lagi. Jam kantor sudah usai dan satu-satunya keinginan saya saat itu adalah segera sampai di rumah.
Mendekati sebuah pertigaan yang cukup ramai, timbul keinginan yang kuat untuk belok ke kiri, memasuki ruas jalan yang tembus ke Jalan Raya Achmad Yani. Rute itu lebih jauh jarak tempuhnya, dibandingkan jika saya lurus ke arah Bratang, lalu Gubeng. Tetapi saya tetap berbelok ke kiri, ke arah Jl. Achmad Yani. Jalan yang saya lalui itu bernama Jalan Raya Margorejo.
Belum juga roda sepeda motor yang saya kendarai menggelinding di Jl. Achmad Yani, saya terhadang banjir dekat titik pertemuan Jl. Margorejo-Achmad Yani. Untuk berbalik susah, karena di belakang saya telah antri kendaraan-kendaraan lainnya.
"Ah, seandainya aku tadi lurus aja lewat Gubeng," keluh saya dalam hati. Saya bisa saja nekad menerobos banjir, tetapi risikonya adalah sepeda motor saya bakal mogok, sebab tampaknya ketinggian permukaan air melampaui knalpot sepeda motor saya. Saya sempat termangu-mangu, lagi-lagi menyesali keputusan untuk berbelok ke jalan itu tadi.
Lalu, saya menyadari sesuatu. Di sisi kanan Jl. Margorejo ke arah Jl. Achmad Yani berdiri pasar swalayan Giant. Saya pun memarkirkan sepeda motor saya dan sambil menunggu banjirnya surut saya luangkan waktu untuk jalan-jalan saja di areal Giant. Bagaimanapun, hal yang mestinya menghibur itu rupanya tak cukup untuk menghilangkan kegundahan saya akibat 'keputusan yang salah'.
Selagi saya jalan-jalan, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak memanggil-manggil nama saya. Pandangan saya lemparkan ke arah dari mana suara itu berasal. Saya melihat klien saya, Pak Hudono (bukan nama sebenarnya). Saya pun bergegas mendatanginya, menyalaminya, lantas berkata, "Lagi belanja, Pak Hudono?"
"Ah, nggak. Kejebak macet, To. Coba tadi saya lewat Rungkut... aah," jawab Pak Hudono. Seperti saya, ia menyesali keputusannya memilih lewat Jl. Margorejo, dan berandai-andai bilamana ia lewat jalan lain. "Yuk, kita ngopi dulu, To. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Sebenarnya bisa besok di kantormu, tapi ada juraganmu."
Sambil menyeruput kopi tubruk panas, kami membahas masalah strategi komunikasi pemasaran bagi produk yang dibuat oleh perusahaan di mana Pak Hudono adalah pemilik merangkap presiden-direkturnya. Ia merasa dipermainkan oleh bos saya. "Bosmu maunya uangku saja," kata Pak Hudono dalam bahasa Suroboyoan, jengkel. Waktu akhirnya Pak Hudono meminta saya merancang strategi yang benar dan tepat dengan imbalan tertentu, di luar gaji saya dan di luar sepengetahuan bos saya, saya mulai melihat benang merah dari rentetan kejadian mulai dari saya meninggalkan kantor, memutuskan belok ke Jl. Margorejo dan terjebak banjir. Saya memahami, bahwa kita tidak perlu berandai-andai jika kita mengalami kejadian 'keputusan yang salah', atau musibah-musibah lainnya yang lebih fatal.
Segala sesuatu yang terjadi pada diri atau di sekitar kita memang mesti terjadi. Tampaknya itu merupakan ketetapan ilahiah atau hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat. Bisa diganggu gugat, tetapi konsekuensinya kita bakal mengganggu keseimbangan alam. Tak seorang pun, saya yakin, ingin salah dalam mengambil keputusan atau dalam memilih, tetapi jika salah pun, jangan disesali dan berandai-andai bilamana sebelumnya memutuskan atau memilih yang lain daripada yang telah kita putuskan/pilih. Selagi kita berandai-andai, menyesali diri, buburnya kian mengencer, dan akhirnya terbuang percuma. Sedangkan bila kita segera bersyukur, nasi yang sudah menjadi bubur bisa ditambah suwiran ayam goreng, ditaburi cakwe, bawang goreng, seledri, kecap dan sambal. Hmmm, kekeliruan yang kita alami ternyata lezat juga ujung-ujungnya. Bagaimanapun, tawaran Pak Hudono tidak saya terima, namun saya berjanji akan membuat biro iklan tempat saya bekerja itu lebih jujur dan optimal dalam melayani klien.
Sikap tidak menyesali kekeliruan dalam memilih atau mengambil keputusan sulit kita miliki bila pada diri kita tidak melekat kesabaran, keihklasan dan ketawakalan. Pada orang-orang yang mementingkan hasil segera, sikap ini dianggap lemah. Dan cukup sulit melipur lara mereka saat mereka menghadapi kenyataan bahwa keputusan atau pilihan yang diambilnya keliru.
Dalam hal diri saya, setelah melalui pengalaman terjebak banjir itu, setiap kali saya mengalami 'salah pilih' atau 'salah memutuskan', saya akan memejamkan mata, mengatur napas -- utamanya agar tidak panik -- dan menenangkan diri. Selama rentang waktu saya menenangkan diri itu, saya juga memberi kesempatan kepada hidup untuk terus mengalir sebagaimana mestinya (sebagaimana rencanaNya), hingga tampak benang merah dari rentetan kejadian yang bermula dari saat memilih/memutuskan. Dalam ketenangan rasa diri yang sempurna kita cenderung melihat segala sesuatu jernih: apa yang membuat pilihan/keputusan itu akhirnya keliru; apakah berasal dari pihak saya atau faktor-faktor lainnya. Bilamana berasal dari pihak saya, apa saja yang mesti saya lakukan untuk memperbaikinya. Intinya, apakah kekeliruan itu disebabkan oleh kita sendiri yang kurang cermat atau faktor-faktor lainnya, selalu tersedia peluang pembelajaran. Kita takkan pernah bisa benar/berhasil apabila kita tidak berani salah/gagal, tandas Roger von Oech dalam Whack -- Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: BIP, 2008).
Keputusan saya untuk pindah ke Surabaya, baik untuk tinggal maupun berkarier di industri periklanan Surabaya, pernah sangat saya sesali. "Seandainya saya tidak pindah ke Surabaya," batin saya ketika menghadapi para pemasar di Surabaya yang jarang mau beriklan, melainkan mengorderkan proyek-proyek brand activation, sehingga saya menyangka keahlian copywriting saya bakal tidak berkembang. Namun, begitu saya kembali ke Jakarta 5 tahun kemudian, saya menjadi amat mensyukurinya. Para pemasar di Jakarta pun, pada tahun 2005 dan seterusnya telah bergeser ke brand activation. Saya yang sudah kenyang pengalaman menangani proyek-proyek komunikasi pemasaran terpadu di Jawa Timur pun membatin, "Gila! Seandainya aku dulu tidak pindah ke Surabaya, mungkin--"
Bebaskan diri dari kekangan norma yang menekankan bahwa kesalahan/kegagalan itu harus dihindari. Biarkan hidup mengalir sebagaimana mestinya dan kita hanyut di dalamnya -- dengan sadar, tahu ke mana hidup akan membawa kita menuju, dan dengan demikian kita dapat belajar dalam prosesnya. Bila kita mengikuti ke mana pun sungai hidup membawa kita pergi, kita akan sampai ke lautan makna dari semua yang kita alami, yang bakal membuat kita tidak merasa perlu untuk berandai-andai -- dan, sebaliknya, bersyukur karenanya. Semua sudah diatur oleh Sang Pencipta, tidak ada yang kebetulan.©
Mendekati sebuah pertigaan yang cukup ramai, timbul keinginan yang kuat untuk belok ke kiri, memasuki ruas jalan yang tembus ke Jalan Raya Achmad Yani. Rute itu lebih jauh jarak tempuhnya, dibandingkan jika saya lurus ke arah Bratang, lalu Gubeng. Tetapi saya tetap berbelok ke kiri, ke arah Jl. Achmad Yani. Jalan yang saya lalui itu bernama Jalan Raya Margorejo.
Belum juga roda sepeda motor yang saya kendarai menggelinding di Jl. Achmad Yani, saya terhadang banjir dekat titik pertemuan Jl. Margorejo-Achmad Yani. Untuk berbalik susah, karena di belakang saya telah antri kendaraan-kendaraan lainnya.
"Ah, seandainya aku tadi lurus aja lewat Gubeng," keluh saya dalam hati. Saya bisa saja nekad menerobos banjir, tetapi risikonya adalah sepeda motor saya bakal mogok, sebab tampaknya ketinggian permukaan air melampaui knalpot sepeda motor saya. Saya sempat termangu-mangu, lagi-lagi menyesali keputusan untuk berbelok ke jalan itu tadi.
Lalu, saya menyadari sesuatu. Di sisi kanan Jl. Margorejo ke arah Jl. Achmad Yani berdiri pasar swalayan Giant. Saya pun memarkirkan sepeda motor saya dan sambil menunggu banjirnya surut saya luangkan waktu untuk jalan-jalan saja di areal Giant. Bagaimanapun, hal yang mestinya menghibur itu rupanya tak cukup untuk menghilangkan kegundahan saya akibat 'keputusan yang salah'.
Selagi saya jalan-jalan, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak memanggil-manggil nama saya. Pandangan saya lemparkan ke arah dari mana suara itu berasal. Saya melihat klien saya, Pak Hudono (bukan nama sebenarnya). Saya pun bergegas mendatanginya, menyalaminya, lantas berkata, "Lagi belanja, Pak Hudono?"
"Ah, nggak. Kejebak macet, To. Coba tadi saya lewat Rungkut... aah," jawab Pak Hudono. Seperti saya, ia menyesali keputusannya memilih lewat Jl. Margorejo, dan berandai-andai bilamana ia lewat jalan lain. "Yuk, kita ngopi dulu, To. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Sebenarnya bisa besok di kantormu, tapi ada juraganmu."
Sambil menyeruput kopi tubruk panas, kami membahas masalah strategi komunikasi pemasaran bagi produk yang dibuat oleh perusahaan di mana Pak Hudono adalah pemilik merangkap presiden-direkturnya. Ia merasa dipermainkan oleh bos saya. "Bosmu maunya uangku saja," kata Pak Hudono dalam bahasa Suroboyoan, jengkel. Waktu akhirnya Pak Hudono meminta saya merancang strategi yang benar dan tepat dengan imbalan tertentu, di luar gaji saya dan di luar sepengetahuan bos saya, saya mulai melihat benang merah dari rentetan kejadian mulai dari saya meninggalkan kantor, memutuskan belok ke Jl. Margorejo dan terjebak banjir. Saya memahami, bahwa kita tidak perlu berandai-andai jika kita mengalami kejadian 'keputusan yang salah', atau musibah-musibah lainnya yang lebih fatal.
Segala sesuatu yang terjadi pada diri atau di sekitar kita memang mesti terjadi. Tampaknya itu merupakan ketetapan ilahiah atau hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat. Bisa diganggu gugat, tetapi konsekuensinya kita bakal mengganggu keseimbangan alam. Tak seorang pun, saya yakin, ingin salah dalam mengambil keputusan atau dalam memilih, tetapi jika salah pun, jangan disesali dan berandai-andai bilamana sebelumnya memutuskan atau memilih yang lain daripada yang telah kita putuskan/pilih. Selagi kita berandai-andai, menyesali diri, buburnya kian mengencer, dan akhirnya terbuang percuma. Sedangkan bila kita segera bersyukur, nasi yang sudah menjadi bubur bisa ditambah suwiran ayam goreng, ditaburi cakwe, bawang goreng, seledri, kecap dan sambal. Hmmm, kekeliruan yang kita alami ternyata lezat juga ujung-ujungnya. Bagaimanapun, tawaran Pak Hudono tidak saya terima, namun saya berjanji akan membuat biro iklan tempat saya bekerja itu lebih jujur dan optimal dalam melayani klien.
Sikap tidak menyesali kekeliruan dalam memilih atau mengambil keputusan sulit kita miliki bila pada diri kita tidak melekat kesabaran, keihklasan dan ketawakalan. Pada orang-orang yang mementingkan hasil segera, sikap ini dianggap lemah. Dan cukup sulit melipur lara mereka saat mereka menghadapi kenyataan bahwa keputusan atau pilihan yang diambilnya keliru.
Dalam hal diri saya, setelah melalui pengalaman terjebak banjir itu, setiap kali saya mengalami 'salah pilih' atau 'salah memutuskan', saya akan memejamkan mata, mengatur napas -- utamanya agar tidak panik -- dan menenangkan diri. Selama rentang waktu saya menenangkan diri itu, saya juga memberi kesempatan kepada hidup untuk terus mengalir sebagaimana mestinya (sebagaimana rencanaNya), hingga tampak benang merah dari rentetan kejadian yang bermula dari saat memilih/memutuskan. Dalam ketenangan rasa diri yang sempurna kita cenderung melihat segala sesuatu jernih: apa yang membuat pilihan/keputusan itu akhirnya keliru; apakah berasal dari pihak saya atau faktor-faktor lainnya. Bilamana berasal dari pihak saya, apa saja yang mesti saya lakukan untuk memperbaikinya. Intinya, apakah kekeliruan itu disebabkan oleh kita sendiri yang kurang cermat atau faktor-faktor lainnya, selalu tersedia peluang pembelajaran. Kita takkan pernah bisa benar/berhasil apabila kita tidak berani salah/gagal, tandas Roger von Oech dalam Whack -- Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: BIP, 2008).
Keputusan saya untuk pindah ke Surabaya, baik untuk tinggal maupun berkarier di industri periklanan Surabaya, pernah sangat saya sesali. "Seandainya saya tidak pindah ke Surabaya," batin saya ketika menghadapi para pemasar di Surabaya yang jarang mau beriklan, melainkan mengorderkan proyek-proyek brand activation, sehingga saya menyangka keahlian copywriting saya bakal tidak berkembang. Namun, begitu saya kembali ke Jakarta 5 tahun kemudian, saya menjadi amat mensyukurinya. Para pemasar di Jakarta pun, pada tahun 2005 dan seterusnya telah bergeser ke brand activation. Saya yang sudah kenyang pengalaman menangani proyek-proyek komunikasi pemasaran terpadu di Jawa Timur pun membatin, "Gila! Seandainya aku dulu tidak pindah ke Surabaya, mungkin--"
Bebaskan diri dari kekangan norma yang menekankan bahwa kesalahan/kegagalan itu harus dihindari. Biarkan hidup mengalir sebagaimana mestinya dan kita hanyut di dalamnya -- dengan sadar, tahu ke mana hidup akan membawa kita menuju, dan dengan demikian kita dapat belajar dalam prosesnya. Bila kita mengikuti ke mana pun sungai hidup membawa kita pergi, kita akan sampai ke lautan makna dari semua yang kita alami, yang bakal membuat kita tidak merasa perlu untuk berandai-andai -- dan, sebaliknya, bersyukur karenanya. Semua sudah diatur oleh Sang Pencipta, tidak ada yang kebetulan.©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar