Gajah di Pelupuk Mata
By Anto Dwiastoro Slamet
Keponakan saya, ketika masih duduk di kelas tiga sekolah dasar, pernah mengajukan pertanyaan yang barangkali tidak semua orang tua berharap harus menjawabnya. Saya sendiri senang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang nyeleneh dari mulut anak-anak, karena hal itu memicu kreativitas saya dan membuat anak-anak berani bertanya -- dan, dengan demikian, juga memicu kreativitas mereka.
Keponakan saya itu bertanya, "Om Anto, kata guru agamaku, Tuhan itu Maha Besar dan Maha Dekat. Kok kita nggak bisa melihatNya, sih, Om?" Saya lalu memakai seekor gajah sebagai perumpamaan. Bila melihatnya dari jarak yang jauh, gajah itu bisa terlihat jelas dan utuh. Namun, bila mata kita kita lekatkan ke badan si gajah, hanya kulit badannya yang tampak atau bahkan tak terlihat apa pun, karena mata kita terhalang badan gajah yang besar. "Kemampuan mata kita sangat terbatas, tidak mampu menangkap sesuatu yang sangat besar sekaligus sangat dekat," kata saya kepada keponakan saya itu. Ia mengangguk-angguk, dan tampaknya puas dengan jawaban itu. Saya pun merasa puas dengan ide jawaban yang tiba-tiba terbersit di benak saya dan cukup masuk akal itu.
Ternyata, dalam kehidupan kita sehari-hari, kebanyakan kita lebih mampu melihat yang jauh-jauh, sedangkan yang dekat-dekat acap kali tidak disadari. Saya pun berpikir, jangan-jangan inilah sebabnya banyak dari kita yang gagal 'melihat' Tuhan yang, difirmankan oleh Tuhan sendiri, lebih dekat dari urat leher kita.
Baru-baru ini, saya menggeleng-gelengkan kepala dan menggerutu, karena heran dan sebal. Ketika menonton berita yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta. Berita itu mengemukakan tentang sebuah sekolah dasar di Indonesia yang menggelar salat gaib, menggalang dana, serta mengadakan unjuk rasa. Semua itu diselenggarakan dalam kaitan dengan serangan Israel atas Palestina yang memakan korban anak-anak dan wanita yang tidak bersalah. Peristiwa itu memang sepatutnya membuka mata dunia, serta menggerakkan hati untuk mengulurkan bantuan. Tetapi, pertama-tama, perlu disadari dahulu, apakah orang-orang yang secara jarak dekat dengan kita sedang memerlukan bantuan kita atau tidak. Jangan sampai "gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak".
Inilah penyebab keheranan dan kesebalan saya. Berita tentang kelanjutan pemboman di Palestina yang diturunkan pada 5 Januari 2009 bersamaan dengan berita mengenai gempa bumi yang melanda Papua Barat sehari sebelumnya. Anak-anak dan wanita di negeri seberang lautan yang menjadi korban serangan Israel langsung menyentuh perasaan kita untuk mengungkapkan keprihatinan dan menyalurkan bantuan, tetapi bencana gempa di negeri sendiri -- yang bila Anda memiliki perasaan yang peka dapat turut merasakan getarannya, walaupun Anda berada di Pulau Jawa -- malah terabaikan. Di samping gempa bumi yang melanda Papua Barat, berbagai daerah lain di Indonesia, yang merupakan 'gajah di pelupuk mata' kita, sedang menghadapi berbagai bencana pula, baik bencana alam maupun bencana sosial. Saya heran, mengapa reaksi kita tidak segencar dan seheboh reaksi terhadap apa yang terjadi pada 'semut di seberang lautan'?
Patut disayangkan juga, anak-anak usia dini di sekolah yang saya sebutkan di atas malah diajarkan untuk berunjuk rasa. Mereka tampak 'digiring' para guru melakukan parade dengan poster-poster yang bermuatan pesan-pesan anti-perang. Dunia anak-anak yang ceria dan damai diusik oleh cara berpikir orang dewasa. Ibu Theresa menolak ketika diajak berdemo anti-perang. Ia berprinsip, bahwa sikap anti-perang malah akan menimbulkan perang baru. Karena itu, Ibu Theresa lebih memilih untuk ikut demonstrasi pro-perdamaian!
Saya rasa, bahwa pernyataan saya di sini akan menimbulkan prasangka, seolah saya berpihak pada Israel. Sama sekali tidak. Saya ingin mengikuti jejak Ibu Theresa, yang berpihak pada perdamaian, bukannya bersikap anti-perang. Peperangan adalah persoalan pelik, yang umumnya bertolak dari nafsu untuk membalas dendam dan membela kepentingan sepihak. Israel menyerang Palestina dengan dalih menumpas pejuang-pejuang Hamas yang pada gilirannya juga telah membantai orang-orang tidak bersalah di Israel, termasuk anak-anak dan wanita. Isunya murni politik – konflik historis pan-Arabisme melawan Zionisme. Bagi Anda yang belum ngeh dan sebelum keburu bersikap benci Israel 'tanpa pandang bulu', di Israel juga terdapat orang-orang Arab yang turun-temurun (dari zaman Perang Salib) yang beragama Islam, tetapi bahu-membahu dengan kaum Nasrani mempertahankan Tanah Suci Yerusalem dari gempuran Sultan Salahudin al-Ayyubi (Saladin) – yang memimpin pasukan yang terdiri dari Muslim dan Nasrani juga – pada abad ke-12 Masehi. Orang-orang Arab itu secara tradisional, walaupun tidak memeluk Yudaisme, juga disebut 'Yahudi'.
Kita di Indonesia malah menjadikannya isu agama, dalam hal ini Islam versus Yahudi (Yahudi yang mana? Yang Muslim atau penganut Yudaisme?), sehingga muncul keberpihakan. Keberpihakan takkan menyelesaikan persoalan, malah menciptakan masalah baru.
Saya pernah mengkaji sejumlah kitab suci agama-agama wahyu, termasuk – dan terutama – Al Qur'an. Mereka umumnya menekankan agar perhatian dan kasih saying pertama-tama dicurahkan kepada orang-orang yang terdekat dengan kita. Nabi Muhammad bahkan mengajarkan, bahwa apabila kita sedang memasak dan aroma masakan kita tercium oleh tetangga kita, maka kita wajib membagi masakan kita dengan mereka yang telah mencium aromanya. Saya kira, ajaran ini sungguh luhur. Pantas saja bila masyarakat Turki modern, biarpun sekuler, masih menerapkan ajaran Nabi Muhammad tersebut, bahkan menjadikannya bagian dari tradisi setempat: bila hendak memasak, tutuplah dahulu jendela dapur!
Kisah Muwaffaq, seorang pria dari Damsyik yang batal berangkat haji karena uang buat ongkos naik haji telah ia sumbangkan seluruhnya kepada tetangganya yang sakit dan tidak punya uang untuk biaya berobat, juga mengetengahkan contoh tentang betapa pentingnya kita membantu tetangga kita, orang-orang yang terdekat dengan kita. Tindakan Muwaffaq tersebut diimbali oleh Allah dengan predikat haji mabrur, walaupun yang bersangkutan tidak pernah berhaji. Hadis Qudsi menyatakan, "Belum beriman dirimu, jika engkau bersenang-senang sementara tetanggamu kelaparan."
Klien saya semasa saya berkarier di industry komunikasi pemasaran Surabaya, sebuah lembaga amil zakat nasional, pernah berujar, "Kalau mau melihat Tuhan tidak perlu susah-susah. Lihat saja lewat mata mereka yang menderita." Dan bila mau mencari orang-orang yang menderita tak perlu pula susah-payah. Mereka bagaikan gajah yang tampak jelas di pelupuk mata yang melihat dengan sadar.©
By Anto Dwiastoro Slamet
Keponakan saya, ketika masih duduk di kelas tiga sekolah dasar, pernah mengajukan pertanyaan yang barangkali tidak semua orang tua berharap harus menjawabnya. Saya sendiri senang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang nyeleneh dari mulut anak-anak, karena hal itu memicu kreativitas saya dan membuat anak-anak berani bertanya -- dan, dengan demikian, juga memicu kreativitas mereka.
Keponakan saya itu bertanya, "Om Anto, kata guru agamaku, Tuhan itu Maha Besar dan Maha Dekat. Kok kita nggak bisa melihatNya, sih, Om?" Saya lalu memakai seekor gajah sebagai perumpamaan. Bila melihatnya dari jarak yang jauh, gajah itu bisa terlihat jelas dan utuh. Namun, bila mata kita kita lekatkan ke badan si gajah, hanya kulit badannya yang tampak atau bahkan tak terlihat apa pun, karena mata kita terhalang badan gajah yang besar. "Kemampuan mata kita sangat terbatas, tidak mampu menangkap sesuatu yang sangat besar sekaligus sangat dekat," kata saya kepada keponakan saya itu. Ia mengangguk-angguk, dan tampaknya puas dengan jawaban itu. Saya pun merasa puas dengan ide jawaban yang tiba-tiba terbersit di benak saya dan cukup masuk akal itu.
Ternyata, dalam kehidupan kita sehari-hari, kebanyakan kita lebih mampu melihat yang jauh-jauh, sedangkan yang dekat-dekat acap kali tidak disadari. Saya pun berpikir, jangan-jangan inilah sebabnya banyak dari kita yang gagal 'melihat' Tuhan yang, difirmankan oleh Tuhan sendiri, lebih dekat dari urat leher kita.
Baru-baru ini, saya menggeleng-gelengkan kepala dan menggerutu, karena heran dan sebal. Ketika menonton berita yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta. Berita itu mengemukakan tentang sebuah sekolah dasar di Indonesia yang menggelar salat gaib, menggalang dana, serta mengadakan unjuk rasa. Semua itu diselenggarakan dalam kaitan dengan serangan Israel atas Palestina yang memakan korban anak-anak dan wanita yang tidak bersalah. Peristiwa itu memang sepatutnya membuka mata dunia, serta menggerakkan hati untuk mengulurkan bantuan. Tetapi, pertama-tama, perlu disadari dahulu, apakah orang-orang yang secara jarak dekat dengan kita sedang memerlukan bantuan kita atau tidak. Jangan sampai "gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak".
Inilah penyebab keheranan dan kesebalan saya. Berita tentang kelanjutan pemboman di Palestina yang diturunkan pada 5 Januari 2009 bersamaan dengan berita mengenai gempa bumi yang melanda Papua Barat sehari sebelumnya. Anak-anak dan wanita di negeri seberang lautan yang menjadi korban serangan Israel langsung menyentuh perasaan kita untuk mengungkapkan keprihatinan dan menyalurkan bantuan, tetapi bencana gempa di negeri sendiri -- yang bila Anda memiliki perasaan yang peka dapat turut merasakan getarannya, walaupun Anda berada di Pulau Jawa -- malah terabaikan. Di samping gempa bumi yang melanda Papua Barat, berbagai daerah lain di Indonesia, yang merupakan 'gajah di pelupuk mata' kita, sedang menghadapi berbagai bencana pula, baik bencana alam maupun bencana sosial. Saya heran, mengapa reaksi kita tidak segencar dan seheboh reaksi terhadap apa yang terjadi pada 'semut di seberang lautan'?
Patut disayangkan juga, anak-anak usia dini di sekolah yang saya sebutkan di atas malah diajarkan untuk berunjuk rasa. Mereka tampak 'digiring' para guru melakukan parade dengan poster-poster yang bermuatan pesan-pesan anti-perang. Dunia anak-anak yang ceria dan damai diusik oleh cara berpikir orang dewasa. Ibu Theresa menolak ketika diajak berdemo anti-perang. Ia berprinsip, bahwa sikap anti-perang malah akan menimbulkan perang baru. Karena itu, Ibu Theresa lebih memilih untuk ikut demonstrasi pro-perdamaian!
Saya rasa, bahwa pernyataan saya di sini akan menimbulkan prasangka, seolah saya berpihak pada Israel. Sama sekali tidak. Saya ingin mengikuti jejak Ibu Theresa, yang berpihak pada perdamaian, bukannya bersikap anti-perang. Peperangan adalah persoalan pelik, yang umumnya bertolak dari nafsu untuk membalas dendam dan membela kepentingan sepihak. Israel menyerang Palestina dengan dalih menumpas pejuang-pejuang Hamas yang pada gilirannya juga telah membantai orang-orang tidak bersalah di Israel, termasuk anak-anak dan wanita. Isunya murni politik – konflik historis pan-Arabisme melawan Zionisme. Bagi Anda yang belum ngeh dan sebelum keburu bersikap benci Israel 'tanpa pandang bulu', di Israel juga terdapat orang-orang Arab yang turun-temurun (dari zaman Perang Salib) yang beragama Islam, tetapi bahu-membahu dengan kaum Nasrani mempertahankan Tanah Suci Yerusalem dari gempuran Sultan Salahudin al-Ayyubi (Saladin) – yang memimpin pasukan yang terdiri dari Muslim dan Nasrani juga – pada abad ke-12 Masehi. Orang-orang Arab itu secara tradisional, walaupun tidak memeluk Yudaisme, juga disebut 'Yahudi'.
Kita di Indonesia malah menjadikannya isu agama, dalam hal ini Islam versus Yahudi (Yahudi yang mana? Yang Muslim atau penganut Yudaisme?), sehingga muncul keberpihakan. Keberpihakan takkan menyelesaikan persoalan, malah menciptakan masalah baru.
Saya pernah mengkaji sejumlah kitab suci agama-agama wahyu, termasuk – dan terutama – Al Qur'an. Mereka umumnya menekankan agar perhatian dan kasih saying pertama-tama dicurahkan kepada orang-orang yang terdekat dengan kita. Nabi Muhammad bahkan mengajarkan, bahwa apabila kita sedang memasak dan aroma masakan kita tercium oleh tetangga kita, maka kita wajib membagi masakan kita dengan mereka yang telah mencium aromanya. Saya kira, ajaran ini sungguh luhur. Pantas saja bila masyarakat Turki modern, biarpun sekuler, masih menerapkan ajaran Nabi Muhammad tersebut, bahkan menjadikannya bagian dari tradisi setempat: bila hendak memasak, tutuplah dahulu jendela dapur!
Kisah Muwaffaq, seorang pria dari Damsyik yang batal berangkat haji karena uang buat ongkos naik haji telah ia sumbangkan seluruhnya kepada tetangganya yang sakit dan tidak punya uang untuk biaya berobat, juga mengetengahkan contoh tentang betapa pentingnya kita membantu tetangga kita, orang-orang yang terdekat dengan kita. Tindakan Muwaffaq tersebut diimbali oleh Allah dengan predikat haji mabrur, walaupun yang bersangkutan tidak pernah berhaji. Hadis Qudsi menyatakan, "Belum beriman dirimu, jika engkau bersenang-senang sementara tetanggamu kelaparan."
Klien saya semasa saya berkarier di industry komunikasi pemasaran Surabaya, sebuah lembaga amil zakat nasional, pernah berujar, "Kalau mau melihat Tuhan tidak perlu susah-susah. Lihat saja lewat mata mereka yang menderita." Dan bila mau mencari orang-orang yang menderita tak perlu pula susah-payah. Mereka bagaikan gajah yang tampak jelas di pelupuk mata yang melihat dengan sadar.©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar