Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Saya tidak memikirkan masa lalu. Satu-satunya yang penting adalah masa sekarang yang abadi.” —W. Somerset Maugham (1874-1965), The Moon and Sixpence
Semasa kecil, saya adalah anak lemah penderita bronchitis yang tidak punya banyak teman, kurang pergaulan, pemalu sekaligus pendiam. Dunia yang saya nikmati adalah alam imajinasi saya yang tidak terbatas, yang akhirnya membuat saya dianggap pelamun oleh guru-guru saya. Saya amat tidak menyukai keadaan ini, tetapi saya sulit melepaskan diri maupun menguasai diri.
Saya menemukan keasikan dalam berkhayal, sehingga satu-satunya pelajaran sekolah ketika saya masih tinggal di Negeri Belanda yang sulit disaingi teman-teman sekelas saya adalah mengarang. Saya punya teman khayal (imaginative friend) yang adalah diri saya sendiri, yang kepadanya saya meminta pendapat dan kepadanya saya mencurahkan kegundahan. Semua ini membuat teman-teman saya mencap saya anak aneh.
Pernahkah saya menyesali masa lalu saya yang sedemikian rupa? Jujur saja, pernah. Saya berpikir, bila saya bisa kembali ke masa lalu saya akan memperbaikinya – saya akan berusaha keras untuk tidak menjadi pribadi semacam itu. Tetapi kini, rupanya semua yang melekat pada kepribadian saya di masa lalu menjadi bekal yang sangat berguna di masa sekarang.
Berkhayal sangat membantu saya dalam beride untuk pekerjaan-pekerjaan saya kini. Saya pernah menyesali mengapa saya dahulu hanya pintar dalam pelajaran mengarang dan menggambar, yang di mata orang tua dianggap kurang bergengsi dibandingkan penguasaan pelajaran matematika dan ilmu alam. Tetapi pelajaran mengarang yang saya sukai dahulu ternyata membuat saya sekarang tak mengalami hambatan dalam mengartikulasikan ide-ide lewat kata-kata. Kebiasaan ‘bergaul’ dengan diri sendiri memampukan saya dalam melakukan dialog intrapribadi, yang, pada gilirannya, membantu saya dalam berkomunikasi antarpribadi. Pendek kata, dengan kenyataan-kenyataan yang saya terima dewasa ini mendorong saya untuk mensyukuri masa lalu saya.
Seberapa pun buruknya masa lalu kita, hal itu sesungguhnya mempersiapkan kita untuk segala sesuatu yang kita hadapi di masa kini. Masa lalu adalah untuk disyukuri, karena apa-apa yang kita hadapi saat ini, menjadi apa kita kini, adalah hasil dari masa lalu kita. Jangan disesali, apalagi membiarkan pikiran kita melekat terus pada masa lalu; pada peristiwa-peristiwa atau orang-orang yang menimbulkan kesedihan pada diri kita. Kebahagiaan dan ketenangan jiwa takkan hinggap pada mereka yang tidak mau memaafkan masa lalu mereka, menolak mensyukuri setiap hal yang mengukir kekecewaan atau kesedihan di masa lalu.
Ada di antara kita mereka yang lebih suka hidup di masa lalu, baik karena masa lalu memberi mereka kesenangan maupun karena mereka belum bisa memaafkan perbuatan orang-orang dari masa lalu mereka. Keduanya menjadikan mereka orang-orang yang sulit menerima kenyataan, dan karenanya langkah mereka kini selalu terhambat – bukannya melihat ke muka malah melihat ke belakang terus, akibatnya mereka akan nabrak melulu. Masa lalu adalah untuk direnungkan, diambil hikmahnya, bukannya disesali. Peristiwa-peristiwa di masa lalu kita sesungguhnya memberi kita hikmah pembelajaran yang tak ternilai. Kecuali Anda sejarawan, tak perlulah Anda mengutak-atik masa lalu Anda; biarkanlah berlalu, maafkan semua orang, tidak usah berprasangka kepada Tuhan. Sekarang, pastikan masa depan Anda menjadi lebih baik dengan hikmah-hikmah yang Anda petik dari masa lalu Anda.
Setelah memperoleh sesuatu yang luar biasa saat ini, lihatlah ke belakang, ke perjalanan yang kita tempuh mulai dari satu titik di masa lalu. Kita akan dapat menengarai benang merah dari semua kejadian yang kita hadapi di masa lalu, masa kini, serta prospeknya di masa depan. Tengoklah ke belakang dengan keinsafan bahwa bagi masing-masing kita telah digariskan perjalanan hidup kita oleh Yang Maha Mengatur. Kekinian kita adalah hasil dari kelampauan kita. Dengan kekinian itu, yang kita insafi sebagai kenyataan yang patut disyukuri, seharusnya kita lebih tegar menatap masa depan, bukan malah menyesali masa lalu di masa kini.
Tuhan punya rencana atas masing-masing kita. Biarkan rencanaNya mewujud terlebih dahulu dengan kita menerima kehendakNya dengan perasaan yang sabar, ikhlas dan tawakal. Agar kita mampu memaafkan Tuhan apabila Dia menguji kita, mengikis prasangka kita kepadaNya. Saya yakin bahwa perbuatanNya mengandung kebaikan bagi kita, walau kadang perbuatanNya berbalut derita dan kedukaan. Asal kita bersedia menanti dengan sabar dan tawakal, perbuatanNya akan mewujud jadi kabar gembira. Saat itulah, biasanya kita menyesal telah berprasangka terhadapNya, dan akhirnya kita akan terdorong untuk mensyukuri masa lalu.©
Selamat Tahun Baru 2010. Semoga dapat mensyukuri tahun sebelumnya dan menjadikan hikmah-hikmah yang diperoleh selama tahun 2009 untuk memandu kita menggapai kesuksesan di tahun-tahun mendatang.
Salam, ANTO DWIASTORO
Senin, 18 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar