Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Satu ungkapan syukur ke Tuhan adalah doa yang paling sempurna.” —G.E. Lessing (1729-1781)
Kemarin, 16 Agustus 2009, art director semasa saya masih bekerja sebagai ‘orang gajian’ datang mengunjungi saya. Sudah lebih dari sembilan bulan kami tidak bertemu muka, disebabkan oleh kesibukan masing-masing. Ia juga sudah menjadi saudara Subud saya sejak tiga tahun yang lalu, namun kami tidak pernah bersua di kelompok Subud mana pun di Jakarta, lantaran ia tengah asik menikmati berbagai pengalaman spiritual di luar lingkungan formalitas perkumpulan persaudaraan kejiwaan Susila Budhi Dharma (Subud) – menurut saya, begitulah seharusnya; mengamalkan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.
Saudara Subud ini menyampaikan kepada saya kebenaran yang pernah saya lontarkan dalam salah satu note Facebook saya, bahwa ketika kita menginginkan sesuatu maka alam semesta akan bersatu padu untuk mewujudkannya. Ia bercerita kepada teman-temannya tentang seorang copywriter (maksudnya, saya) yang dua tahun sebelumnya mengutarakan keinginannya untuk bekerja sambil jalan-jalan. Dan kini keinginan itu terwujud melalui kenyataan bahwa saya telah menjadi seorang travel writer (penulis wisata). Mata pencarian saya saat ini memang berlibur!
Saya mencoba mengingat-ingat, kapan saya pernah mengatakan hal itu – bekerja sambil jalan-jalan – tetapi tidak dapat, sedangkan saudara Subud saya itu dengan jelas masih mengingatnya. Yang tiba-tiba teringat oleh saya adalah ketika pada 17 Juni 2009, di Citibank executive lounge bandar udara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya menulis jawaban kepada salah seorang teman Facebook saya yang mencurahkan kegundahannya kepada saya, mengapa orang yang rajin salat hidupnya lebih menderita daripada orang yang salatnya belang-bentong (jarang). Saat itu, saya menandaskan kepadanya bahwa Tuhan selalu mengabulkan doa kita, tetapi tidak segera, agar kita memperoleh lebih banyak dalam prosesnya – lebih banyak dan lebih bernilai dari yang kita inginkan.
Lalu, tiba-tiba saya tersadar bahwa pada saat itu Tuhan sedang mewujudkan doa saya. Saat itu, saya tengah menanti jadwal keberangkatan pesawat Garuda Indonesia dengan tujuan Jayapura, Papua, membawa serta lima puluh eksemplar buku Doors to the Unknown – The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua yang saya garap bersama fotografer kondang Toni Sri, yang akan menjadi cinderamata Bupati Jayapura bagi para tamu kehormatan yang menghadiri pembukaan Festival Danau Sentani pada 19 Juni 2009.
Buku tersebut – pada saat saya menjawab pesan masuk dari teman Facebook itu – membawa ingatan saya ke tahun 1993, ketika saya baru menggondol ijazah sarjana ilmu sejarah dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, di mana saya sempat melayangkan surat lamaran untuk menjadi pemandu wisata ke dua belas agen perjalanan. Semangat saya untuk menjadi tour guide dipicu oleh teman saya semasa kuliah yang sukses dengan profesi itu. Saya membayangkan betapa serunya menjadi orang yang dibayar untuk berlibur.
Tak satu pun surat lamaran saya yang ditanggapi. Saya malah tecebur ke dunia komunikasi pemasaran, yang selama tahun-tahun pertama membosankan saya. Tetapi, perlahan-lahan, keinginan saya untuk menjadi pemandu wisata pun pupus, lebur oleh ingar-bingar dunia komunikasi pemasaran yang sempat membuat saya tidak berpijak ke bumi.
Buku Doors to the Unknown serta curahan hati teman Facebook saya itu membuat saya teringat: “Iya-ya, aku kan pernah ingin jadi pemandu wisata?!” Proses hingga lebih dari lima belas tahun yang harus saya lalui tanpa gambaran yang jelas mengenai cita-cita itu ternyata, akhirnya, menjadikan saya pemandu wisata plus-plus. Saya memandu wisatawan ke tempat-tempat menarik (places of interest) lewat tulisan saya. Bukan saja saya dibisakan oleh pengalaman selama lima belas tahun di dunia komunikasi pemasaran untuk menulis artikel mengenai obyek wisata di media cetak, tetapi juga menulis untuk format audio-visual dan yang berbasis Web. Semua itu dengan gaya pemasaran yang komunikatif.
Secara fisik, sebelum ini saya memang belum pernah langsung mendampingi wisatawan ke obyek-obyek wisata. Tetapi, bagaikan deretan kartu domino yang roboh secara berurutan, hanya sehari setelah penutupan Festival Danau Sentani pada 23 Juni 2009, di mana selama itu buku saya dibagi-bagikan kepada para tamu kehormatan dalam dan luar negeri, saya didaulat secara dadakan untuk menjadi ‘penyambung perbedaan bahasa’ antara Pak Bupati dan dua tamunya dari Jerman yang datang khusus untuk memenuhi undangan panitia festival serta melongok potensi-potensi wisata Kabupaten Jayapura!
Serangkaian pengalaman ini membuat saya memahami – paling tidak, secara pribadi – bahwa sebaiknya Anda menyelesaikan doa Anda segera setelah mengajukan permintaan dan lupakan apa yang Anda minta serta biarkan diri Anda larut dalam proses yang membuat Anda tumbuh dan berkembang sedemikian rupa hingga fokus Anda bukan lagi apa yang Anda minta itu. Mudah-mudahan, Anda akan teringat lagi saat doa Anda terkabul. Karena pada saat itulah Anda akan menyadari betapa berlimpah yang dikaruniakan Tuhan atas sebuah doa yang simpel.©
Salam, ANTO DWIASTORO