Oleh Anto Dwiastoro Slamet
Yang tidak diketahuinya tidak akan menyakitinya.” —Pepatah
Tahun lalu, ada sebuah proyek penulisan naskah materi komunikasi korporat yang saya kerjakan, yang mensyaratkan agar versi bahasa Inggrisnya dikerjakan oleh native speaker. Saya pribadi merasa yakin dan secara teknis memiliki kemampuan untuk mengerjakannya sendiri, tanpa melibatkan native speaker. Saya berharap agar klien memberi saya kepercayaan untuk mengerjakan versi bahasa Inggrisnya, tetapi klien enggan memberikannya. Ia tidak mau menanggung risiko bilamana penulisan versi bahasa Inggrisnya tidak sesuai harapannya.
Kepercayaan. Hanya itu yang saya harapkan. Bila itu saya peroleh dari klien, saya pun akan memegangnya teguh, dengan mengerahkan segenap kualitas yang saya miliki. Tetapi, apa daya, klien bersikeras agar disediakan seorang native speaker.
Lalu, sebuah ide muncul di kepala saya. Klien saya pasti tipe luar negeri-minded yang mudah terjebak oleh anggapan dan kepercayaan subyektifnya. Saya katakan pada klien saya, bahwa saya punya kawan, seorang native speaker yang kebetulan berprofesi copywriter. Saya yakinkan klien saya bahwa kawan saya itulah yang akan mengerjakan versi bahasa Inggris dari naskah materi komunikasi korporat perusahaannya. Saya sudah siap-siap, seandainya si klien minta bertemu dengan kawan saya, maka saya akan menyeret salah seorang dari ekspatriat yang bejibun di Subud; ternyata klien saya tidak memintanya – kepercayaannya sudah mantap hanya melalui kata-kata saya.
Begitu pekerjaan tersebut tuntas, termasuk versi bahasa Inggrisnya, yang sebenarnya saya kerjakan sendiri, si klien sangat puas, bahkan menepuk-nepuk dadanya di hadapan rekan-rekannya, dengan mengatakan bahwa naskah bahasa Inggrisnya perfect, karena dikerjakan oleh seorang native speaker. Sebelum ia memintanya, saya katakan terlebih dahulu bahwa kawan saya sedang pulang ke negerinya dan akan kembali ke Indonesia tiga bulan lagi – di mana, pada saat itu, materi komunikasi korporat itu sudah dicetak dan diedarkan. Dalam hal ini, saya memang telah memanipulasi kepercayaan subyektif klien saya, namun untuk tujuan yang menguntungkan perusahaannya – ia tidak mesti membayar mahal, karena ‘produk dalam negeri’ pun sama bagusnya dengan produk luar negeri yang begitu dipuja-pujanya, dengan harga yang tersebut pertama lebih murah daripada yang tersebut kedua.
Kepercayaan. Tampaknya hanya itu yang bisa kita andalkan dalam membuat hidup kita mulus, atau sebaliknya. Kepercayaan terhadap apa pun yang kita inginkan. Kepercayaan bisa bikin sehat, atau sebaliknya bikin sakit, tergantung pada tingkat kemantapan dari kesediaan kita untuk mempercayai sesuatu. Saya tandaskan, kepercayaan itulah yang mengondisikan diri kita. Waktu saya kembali menetap di Jakarta, pada tahun 2005, saya sempat menempati sebuah kamar di rumah peninggalan orang tua saya, yang konon angker. Saya ‘setel’ kepercayaan saya, bahwa di tempat angker pun bersemayam kekuasaan Tuhan. Alhasil, selama saya menempati kamar tersebut, satu-satunya gangguan yang saya hadapi adalah nyamuk. Sebaliknya, orang-orang yang sangat percaya pada cerita seram yang dikumandangkan para pembantu rumah tangga perihal kamar tersebut malah sering diganggu makhluk dunia lain.
Baru-baru ini, saya mulai tekun berlatih olah napas dan olah gerak yang terpadu dalam suatu metode swaterapi (autotherapy) yang dinamakan bio energy power (BEP). Kreatornya, Harry Juhari Angga, adalah seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, namun karena ia lulusan luar negeri dan tidak mengikuti persamaan di Indonesia, status dokternya tidak diakui. Bagi saya, itu tidak masalah. Yang penting adalah kepercayaan pasien terhadap kredibilitas pengetahuannya. Saya sendiri praktisi komunikasi pemasaran dan korporat yang latar belakang pendidikannya justru ilmu sejarah. Lagi-lagi, berkat kepercayaan – yang saya bangun lewat keahlian dan pengalaman selama belasan tahun – itulah klien-klien saya tidak pernah mempersoalkannya, malah mengagumi saya. Sejumlah klien saya sampai terbelalak mata mereka, saat usai memaparkan sebuah strategi komunikasi pemasaran yang sangat komprehensif, yang membuat mereka beranggapan bahwa saya alumnus program komunikasi sebuah universitas bergengsi di luar negeri, tetapi sebaliknya saya malah mengatakan bahwa kesarjanaan saya adalah di bidang sejarah dari Universitas Indonesia. Toh, kepercayaan mereka terhadap kemampuan dan keahlian saya tidak luntur.
Harry Angga mengatakan, dalam kaitan dengan swaterapi, bahwa kita kok bisa percaya pada Ponari, tetapi sulit percaya bahwa Tuhan telah melengkapi tubuh kita dengan kemampuan untuk menyembuhkan dirinya (self-healing), tanpa bantuan obat atau penanganan dokter. Kuncinya ada pada pikiran, sebagai tempat lahirnya kepercayaan: bila kita percaya bahwa kita sehat, maka sehatlah kita. Dan, demikian pula, sebaliknya.
Orang-orang yang datang pada Harry Angga datang dengan pemikiran bahwa ia seseorang yang memiliki latar belakang medis. Itu saja sudah menimbulkan pikiran positif pada diri orang-orang itu. Ditambah dengan latihan olah napas dan gerak yang masing-masing memiliki nilai penyembuhan, peserta langsung merasa sehat. Ini bukan keajaiban. Yang ajaib adalah kekuasaan Tuhan yang telah menciptakan tubuh manusia dan unsur-unsur pelengkapnya (jiwa, akal budi dan nafsu) sedemikian rupa, menjadikan manusia sebagai ciptaanNya yang sempurna!
Sejak berlatih BEP – dilengkapi dengan Latihan Kejiwaan Subud untuk menata sisi rohani saya – saya menjadi semakin sadar akan kesehatan jasmani (health conscious). Tuhan pun menuntun saya, lewat informasi dari saudara Subud saya, untuk menemukan buku karya Hiromi Shinya, MD, The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel, Cetakan IV (Bandung: Penerbit Qanita-PT Mizan Pustaka, 2009). Buku tersebut seakan mengonfirmasi kepercayaan saya terhadap apa yang disampaikan oleh Harry Angga – bahwa Tuhan telah menyediakan penyembuh dalam tubuh kita.
Dokter Shinya menulis di halaman 19 bukunya: “Hanya tubuh yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Seorang dokter menciptakan ruang bagi terjadinya penyembuhan tersebut.” Ia meyakini bahwa kunci keajaiban ini terletak pada enzim milik tubuh kita sendiri. Dokter Shinya bilang, bahwa dorongan energi yang positif, seperti yang muncul dari cinta, tawa dan kebahagiaan, dapat menstimulasi DNA (deoxyribonucleic acid) kita untuk memproduksi limpahan enzim pangkal tubuh kita – yaitu sang enzim ajaib yang beraksi sebagai bio-katalis untuk memperbaiki sel-sel kita. Kebahagiaan dan cinta dapat membangunkan suatu potensi jauh di luar pemahaman kita sebagai manusia saat ini, tambah dokter spesialis endoskopi bedah yang telah membantu 300.000 pasiennya memperoleh peluang kambuh kanker usus besar mereka hingga nol persen.
Jadi, terserah apa yang ingin Anda percayai. Namun, bila Anda ingin sehat, berpeganglah pada kepercayaan yang bikin sehat, yaitu kepercayaan kuat bahwa Tuhan sejak mula mengaruniai hidup Anda dengan cinta, tawa dan kebahagiaan.©
Kepercayaan. Hanya itu yang saya harapkan. Bila itu saya peroleh dari klien, saya pun akan memegangnya teguh, dengan mengerahkan segenap kualitas yang saya miliki. Tetapi, apa daya, klien bersikeras agar disediakan seorang native speaker.
Lalu, sebuah ide muncul di kepala saya. Klien saya pasti tipe luar negeri-minded yang mudah terjebak oleh anggapan dan kepercayaan subyektifnya. Saya katakan pada klien saya, bahwa saya punya kawan, seorang native speaker yang kebetulan berprofesi copywriter. Saya yakinkan klien saya bahwa kawan saya itulah yang akan mengerjakan versi bahasa Inggris dari naskah materi komunikasi korporat perusahaannya. Saya sudah siap-siap, seandainya si klien minta bertemu dengan kawan saya, maka saya akan menyeret salah seorang dari ekspatriat yang bejibun di Subud; ternyata klien saya tidak memintanya – kepercayaannya sudah mantap hanya melalui kata-kata saya.
Begitu pekerjaan tersebut tuntas, termasuk versi bahasa Inggrisnya, yang sebenarnya saya kerjakan sendiri, si klien sangat puas, bahkan menepuk-nepuk dadanya di hadapan rekan-rekannya, dengan mengatakan bahwa naskah bahasa Inggrisnya perfect, karena dikerjakan oleh seorang native speaker. Sebelum ia memintanya, saya katakan terlebih dahulu bahwa kawan saya sedang pulang ke negerinya dan akan kembali ke Indonesia tiga bulan lagi – di mana, pada saat itu, materi komunikasi korporat itu sudah dicetak dan diedarkan. Dalam hal ini, saya memang telah memanipulasi kepercayaan subyektif klien saya, namun untuk tujuan yang menguntungkan perusahaannya – ia tidak mesti membayar mahal, karena ‘produk dalam negeri’ pun sama bagusnya dengan produk luar negeri yang begitu dipuja-pujanya, dengan harga yang tersebut pertama lebih murah daripada yang tersebut kedua.
Kepercayaan. Tampaknya hanya itu yang bisa kita andalkan dalam membuat hidup kita mulus, atau sebaliknya. Kepercayaan terhadap apa pun yang kita inginkan. Kepercayaan bisa bikin sehat, atau sebaliknya bikin sakit, tergantung pada tingkat kemantapan dari kesediaan kita untuk mempercayai sesuatu. Saya tandaskan, kepercayaan itulah yang mengondisikan diri kita. Waktu saya kembali menetap di Jakarta, pada tahun 2005, saya sempat menempati sebuah kamar di rumah peninggalan orang tua saya, yang konon angker. Saya ‘setel’ kepercayaan saya, bahwa di tempat angker pun bersemayam kekuasaan Tuhan. Alhasil, selama saya menempati kamar tersebut, satu-satunya gangguan yang saya hadapi adalah nyamuk. Sebaliknya, orang-orang yang sangat percaya pada cerita seram yang dikumandangkan para pembantu rumah tangga perihal kamar tersebut malah sering diganggu makhluk dunia lain.
Baru-baru ini, saya mulai tekun berlatih olah napas dan olah gerak yang terpadu dalam suatu metode swaterapi (autotherapy) yang dinamakan bio energy power (BEP). Kreatornya, Harry Juhari Angga, adalah seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, namun karena ia lulusan luar negeri dan tidak mengikuti persamaan di Indonesia, status dokternya tidak diakui. Bagi saya, itu tidak masalah. Yang penting adalah kepercayaan pasien terhadap kredibilitas pengetahuannya. Saya sendiri praktisi komunikasi pemasaran dan korporat yang latar belakang pendidikannya justru ilmu sejarah. Lagi-lagi, berkat kepercayaan – yang saya bangun lewat keahlian dan pengalaman selama belasan tahun – itulah klien-klien saya tidak pernah mempersoalkannya, malah mengagumi saya. Sejumlah klien saya sampai terbelalak mata mereka, saat usai memaparkan sebuah strategi komunikasi pemasaran yang sangat komprehensif, yang membuat mereka beranggapan bahwa saya alumnus program komunikasi sebuah universitas bergengsi di luar negeri, tetapi sebaliknya saya malah mengatakan bahwa kesarjanaan saya adalah di bidang sejarah dari Universitas Indonesia. Toh, kepercayaan mereka terhadap kemampuan dan keahlian saya tidak luntur.
Harry Angga mengatakan, dalam kaitan dengan swaterapi, bahwa kita kok bisa percaya pada Ponari, tetapi sulit percaya bahwa Tuhan telah melengkapi tubuh kita dengan kemampuan untuk menyembuhkan dirinya (self-healing), tanpa bantuan obat atau penanganan dokter. Kuncinya ada pada pikiran, sebagai tempat lahirnya kepercayaan: bila kita percaya bahwa kita sehat, maka sehatlah kita. Dan, demikian pula, sebaliknya.
Orang-orang yang datang pada Harry Angga datang dengan pemikiran bahwa ia seseorang yang memiliki latar belakang medis. Itu saja sudah menimbulkan pikiran positif pada diri orang-orang itu. Ditambah dengan latihan olah napas dan gerak yang masing-masing memiliki nilai penyembuhan, peserta langsung merasa sehat. Ini bukan keajaiban. Yang ajaib adalah kekuasaan Tuhan yang telah menciptakan tubuh manusia dan unsur-unsur pelengkapnya (jiwa, akal budi dan nafsu) sedemikian rupa, menjadikan manusia sebagai ciptaanNya yang sempurna!
Sejak berlatih BEP – dilengkapi dengan Latihan Kejiwaan Subud untuk menata sisi rohani saya – saya menjadi semakin sadar akan kesehatan jasmani (health conscious). Tuhan pun menuntun saya, lewat informasi dari saudara Subud saya, untuk menemukan buku karya Hiromi Shinya, MD, The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel, Cetakan IV (Bandung: Penerbit Qanita-PT Mizan Pustaka, 2009). Buku tersebut seakan mengonfirmasi kepercayaan saya terhadap apa yang disampaikan oleh Harry Angga – bahwa Tuhan telah menyediakan penyembuh dalam tubuh kita.
Dokter Shinya menulis di halaman 19 bukunya: “Hanya tubuh yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Seorang dokter menciptakan ruang bagi terjadinya penyembuhan tersebut.” Ia meyakini bahwa kunci keajaiban ini terletak pada enzim milik tubuh kita sendiri. Dokter Shinya bilang, bahwa dorongan energi yang positif, seperti yang muncul dari cinta, tawa dan kebahagiaan, dapat menstimulasi DNA (deoxyribonucleic acid) kita untuk memproduksi limpahan enzim pangkal tubuh kita – yaitu sang enzim ajaib yang beraksi sebagai bio-katalis untuk memperbaiki sel-sel kita. Kebahagiaan dan cinta dapat membangunkan suatu potensi jauh di luar pemahaman kita sebagai manusia saat ini, tambah dokter spesialis endoskopi bedah yang telah membantu 300.000 pasiennya memperoleh peluang kambuh kanker usus besar mereka hingga nol persen.
Jadi, terserah apa yang ingin Anda percayai. Namun, bila Anda ingin sehat, berpeganglah pada kepercayaan yang bikin sehat, yaitu kepercayaan kuat bahwa Tuhan sejak mula mengaruniai hidup Anda dengan cinta, tawa dan kebahagiaan.©