Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Tak kenal maka tak sayang.”
Waktu saya mulai latihan olah napas dan gerak BEP (bio energy power) lebih dari seminggu yang lalu (22 Maret 2009), saya langsung merasakan manfaatnya, baik bagi kesehatan fisik maupun mental saya. Yang menganjurkan agar saya berlatih BEP adalah saudara Subud saya yang telah enam bulan lebih dahulu berlatih BEP disertai diet yang disiplin, dan kini berat badannya turun hingga lebih dari 25 kilogram, serta untuk pria berusia 64 tahun seperti dirinya ia tergolong sangat sehat. Tanpa ragu, saya menyambut anjurannya, karena saya tergolong orang yang suka mencoba hal-hal baru. Kalau pun nantinya keliru atau tidak cocok, saya bisa segera memutuskan untuk menghentikannya. Nothing to lose-lah. Lagipula untuk urusan olahraga dan kesehatan, tidak ada metode yang terlalu buruk. Apalagi, bagi saya, BEP membuat saya – yang pada dasarnya malas berolahraga – berpikir: “Olahraga berat tak pernah seringan ini.”
Serupa hal-hal lainnya, tak peduli seberapa pun besar manfaatnya, saat saya tawarkan BEP kepada kerabat, teman dan relasi saya, muncul penolakan, baik tersurat maupun tersirat. Ada yang dengan gaya sok tau menyama-samakan dengan metode lain, seperti Yoga atau meditasi, padahal saya belum memberi gambaran tentang bentuk-bentuk olah napas dan olah geraknya. Pikiran mereka sudah dibentengi, sementara mereka belum tahu yang datang kawan atau lawan. Sayang deh, tetapi saya tak terlalu peduli; yang saya khawatirkan adalah kesehatan mereka. Biarpun tidak sakit, menerapkan gaya hidup sehat juga penting.
Banyak di antara kita, dan mungkin juga kita sendiri, yang sudah kepalang membentengi pikiran dari hal-hal baru, tanpa mau tahu bahwa kemungkinan hal baru itu justru manfaatnya sangat besar. Kawan saya yang pengangguran pernah saya tawari untuk melamar jadi account executive (AE) di tempat saya bekerja dahulu, sebuah biro iklan multinasional, dengan gaji tetap dan tunjangan. Dengan pikirannya terbentengi pengetahuan keliru bahwa AE biro iklan itu sama dengan AE perusahaan pemasaran atau tenaga penjualan yang tugasnya mencari pelanggan/nasabah dari-pintu-ke-pintu dan dibayar dengan komisi, ia menolak mentah-mentah. Padahal saya sudah memberi gambaran yang komprehensif tentang pekerjaan AE di biro iklan dan sudah mendesak kawan saya untuk mencobanya terlebih dahulu selama maksimal enam bulan. Ia tetap menolak! Alhasil, hingga kini ia masih menganggur.
Ketika saya pertama kali diperkenalkan ke Susila Budhi Dharma (Subud) lebih dari lima tahun yang lalu oleh mitra kerja saya di Surabaya, saya sedang melewati masa pergolakan batin akibat kekecewaan terhadap hidup dan terhadap Tuhan – yang berbuntut saya sempat tidak memercayai eksistensi Tuhan lagi, yang saya rasa saat itu tidak teratasi oleh amalan agama semata. Bagaimanapun, saya sempat terkendala oleh pikiran saya sendiri yang masih terbentengi oleh anggapan bahwa yang tidak diajarkan oleh agama adalah tidak baik. (Sesungguhnya, yang kini kebanyakan kita anggap merupakan ajaran sah dari agama yang kita anut justru tidak ada atau bahkan bertentangan dengan ajaran azalinya.) Sekarang, setelah masuk Subud, saya menyesal, mengapa tidak dari dahulu saya masuk Subud. Sebab, berkat saya tidak membiarkan kekurangtahuan saya menghalangi saya masuk Subud, kini wawasan saya tentang agama saya maupun kehidupan saya amat kaya. Karena kenal (Latihan Kejiwaan Subud) saya jadi tahu manfaatnya, dan kini jadi sayang.
Kurangnya pengetahuan serta ketidakmauan kita untuk membuka pikiran kita terhadap pengetahuan mengenai hal-hal baru merupakan salah satu alasan utama mengapa potensi-potensi kita sulit terealisasi. Belum apa-apa, kita sudah membentengi diri, sehingga peluang yang mungkin mengetuk gerbang pun balik badan dan pergi. Kita sering kali takut untuk mengambil risiko, sementara hidup kita sendiri sarat dengan risiko. Jangan anggap, bahwa duduk santai, menikmati secangkir teh di teras rumah sendiri, adalah tindakan bebas risiko. Bila Tuhan menghendaki, Anda bisa terkena serangan jantung dan langsung mati di tempat. Atau, tiba-tiba saja sebuah truk yang sedang melintas di jalan raya depan rumah Anda menyeruduk ke teras rumah Anda saat Anda asyik menyeruput teh. Tidak ada yang bebas risiko. Seberapa pun besarnya upaya kita menghindari risiko, ia dapat sewaktu-waktu menghampiri kita. Hadapi saja risiko (asal bukan sengaja mencari-carinya) bila ia mendatangi Anda; kemungkinan besar Anda akan memperoleh sesuatu yang berharga. Para wirausahawan membangun kesuksesan mereka di atas setumpuk kegagalan. Mereka tahu usahanya penuh risiko, tetapi bukannya kabur darinya, mereka malah menghadapinya. Bagaimana kita bisa benar jika kita takut berbuat salah? Sama halnya, bagaimana kita bisa sukses, bila kita tak kenal yang namanya gagal? Kalau tak kenal, ah sayang deh…©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar