Oleh Anto Dwiastoro Slamet
“Kemalasan adalah keadaan yang menyenangkan namun menyusahkan; kita harus melakukan sesuatu untuk menjadi bahagia.” —Mahatma Gandhi (1869-1948)
“Kemalasan itu manis, tetapi akibatnya pahit.” —Voltaire (1694-1778)
Hewan favorit saya adalah hiu putih besar (great white shark, Carcharodon carcharias). Namun, saya tidak pernah berharap untuk memeliharanya. Menurut berbagai informasi ilmiah, hewan laut yang umumnya dapat mencapai panjang 6 meter dan berat badan 2.250 kilogram itu tidak bisa bertahan hidup lama dalam pemiaraan, seberapa pun khusus dan canggihnya akuarium yang disediakan untuknya. Hingga saat ini, yang tercatat paling lama dalam piaraan adalah seekor hiu putih besar betina yang ditangkap di lepas pantai San Buenaventura, Kalifornia, AS. Hiu itu disimpan dalam akuarium raksasa selama 198 hari, sebelum akhirnya dilepas ke laut pada Maret 2005.
Si Putih Besar adalah ikan pemangsa terbesar di dunia. Sebagai pemangsa, ia gemar berburu. Ia biasa mencari makan, bukan diberi makan. Dengan demikian, pemiaraan mematikan naluri pemburunya, sedangkan ia tak dapat segera beradaptasi dengan keadaan di mana ia diberi makan tanpa harus susah-payah berusaha mengejar santapannya. Akhirnya, ia pun akan mati.
Ketika membaca mengenai sifat Si Putih Besar, terbayang oleh saya bilamana sifat alami tersebut terdapat pada diri manusia. Saya membayangkan manusia yang oleh Sang Pencipta telah diberi potensi untuk berusaha malah membiarkan dirinya digerogoti oleh kemalasan. Makhluk yang telah dibekali oleh akal, energi dan seabrek potensi oleh Tuhan itu, malah mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur itu, dan, sebaliknya, malah bergantung pada belas kasihan orang lain, atau pada pemberian orang lain. Saya tertawa geli saat membayangkan manusia-manusia semacam ini akhirnya mati, terbunuh oleh dirinya sendiri yang menyalahi kodrat dan iradat (kehendak) Ilahi, bahwasanya manusia mesti melakukan sesuatu untuk kesejahteraan hidupnya.
Ada sejumlah hambatan yang membuat manusia pada umumnya malas untuk mengikhtiarkan sesuatu bagi kemaslahatan hidupnya. Selain takut gagal, juga merasa tidak berpengalaman, takut mencoba, merasa tidak punya pendidikan yang cukup untuk mengerjakan suatu bidang, tidak mengerti, merasa tidak punya modal (uang) yang cukup, ingin terima beres saja, atau memang karena kesukaannya adalah menjadi benalu bagi orang lain. Semua alasan ini bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya terdapat pada diri kita semua, tak terkecuali penderita cacat fisik dan mental, atau orang yang telah uzur sekali pun. Kemalasan menunjukkan satu bukti lagi bahwa dalam mentalitas manusia acap kalah dari hewan. Akibat yang ditimbulkan oleh kemalasan manusia memang pahit, namun tidak sepahit kematian, seperti yang dialami hewan seperti Si Putih Besar.
Pada diri manusia, seperti diungkap oleh Dr. Myles Munroe dalam bukunya, Releasing Your Potential – Menyingkapkan Diri Anda yang Tersembunyi (Jakarta: Penerbit Immanuel, 2007), ‘terperangkap’ potensi-potensi diri yang luar biasa – yang bahkan melampaui bayangan kita tentang apa yang dapat kita lakukan. Potensi-potensi ini menuntut untuk disingkapkan, yaitu melalui tindakan kita, upaya kita, yang berdampak pada diberdayakannya akal dan energi kita. Sekali Anda mengetahui potensi macam apa yang Anda miliki, Anda pun akan seperti saya: merasa aneh bila menyaksikan orang yang malas berusaha karena hambatan-hambatan yang saya sampaikan di atas.
Pada sejumlah agama diajarkan bahwa kemalasan dapat menceburkan umat ke api neraka. Menurut Dr. Munroe, yang kebetulan juga seorang ‘gembala senior’ dari Bahamas Faith Ministries International, dalam ajaran Kristen kemalasan merupakan ciri orang yang tidak beriman. Tulis Dr. Munroe di halaman 102 bukunya: “Iman adalah katalisator yang membuat segalanya terjadi. Iman mengangkat Anda melewati bukti nyata dari hidup Anda dan memberdayakan Anda untuk membawa terang dari kegelapan. Ingatlah, Anda akan menerima apa pun yang Anda percayai. Jika Anda mengharapkan masalah, Anda akan memperolehnya. Jika Anda mempercayai Tuhan dan mengharapkan Dia untuk bekerja di tengah keadaan Anda yang menekan, cepat atau lambat Anda akan melihat bukti dari hadiratNya.”
Dalam agama Islam sebenarnya juga demikian. Bahkan Nabi Muhammad SAW menyabdakan bahwa kerja adalah ibadah. Dengan demikian, seorang muslim yang rajin bekerja dan berusaha bagi kesejahteraan dirinya akan ‘mencium harum surga’. Namun yang senantiasa ditekankan oleh mayoritas guru agama malah sebaliknya, yaitu bahwa orang yang tidak menyantuni (yang hampir selalu diterjemahkan sebagai ‘memberi sedekah dalam bentuk uang’) orang miskin diganjar dengan neraka. Pernyataan ini seolah berpihak kepada kemalasan, karena secara umum telah diketahui bahwa penyebab utama seseorang menjadi miskin adalah kemalasan dirinya! Tidak mengherankan, bila kemudian banyak yang memanfaatkan kesalahkaprahan ini sebagai kesempatan untuk mengemis sumbangan uang dari orang-orang yang mampu secara finansial, baik untuk sekadar makan setiap hari maupun untuk membangun fasilitas pelengkap ibadah. Menyaksikan hal ini, saya membayangkan pelakunya sebelum diceburkan ke api neraka terlebih dahulu dicemplungkan ke laut supaya dimangsa Si Putih Besar.©
“Kemalasan adalah keadaan yang menyenangkan namun menyusahkan; kita harus melakukan sesuatu untuk menjadi bahagia.” —Mahatma Gandhi (1869-1948)
“Kemalasan itu manis, tetapi akibatnya pahit.” —Voltaire (1694-1778)
Hewan favorit saya adalah hiu putih besar (great white shark, Carcharodon carcharias). Namun, saya tidak pernah berharap untuk memeliharanya. Menurut berbagai informasi ilmiah, hewan laut yang umumnya dapat mencapai panjang 6 meter dan berat badan 2.250 kilogram itu tidak bisa bertahan hidup lama dalam pemiaraan, seberapa pun khusus dan canggihnya akuarium yang disediakan untuknya. Hingga saat ini, yang tercatat paling lama dalam piaraan adalah seekor hiu putih besar betina yang ditangkap di lepas pantai San Buenaventura, Kalifornia, AS. Hiu itu disimpan dalam akuarium raksasa selama 198 hari, sebelum akhirnya dilepas ke laut pada Maret 2005.
Si Putih Besar adalah ikan pemangsa terbesar di dunia. Sebagai pemangsa, ia gemar berburu. Ia biasa mencari makan, bukan diberi makan. Dengan demikian, pemiaraan mematikan naluri pemburunya, sedangkan ia tak dapat segera beradaptasi dengan keadaan di mana ia diberi makan tanpa harus susah-payah berusaha mengejar santapannya. Akhirnya, ia pun akan mati.
Ketika membaca mengenai sifat Si Putih Besar, terbayang oleh saya bilamana sifat alami tersebut terdapat pada diri manusia. Saya membayangkan manusia yang oleh Sang Pencipta telah diberi potensi untuk berusaha malah membiarkan dirinya digerogoti oleh kemalasan. Makhluk yang telah dibekali oleh akal, energi dan seabrek potensi oleh Tuhan itu, malah mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur itu, dan, sebaliknya, malah bergantung pada belas kasihan orang lain, atau pada pemberian orang lain. Saya tertawa geli saat membayangkan manusia-manusia semacam ini akhirnya mati, terbunuh oleh dirinya sendiri yang menyalahi kodrat dan iradat (kehendak) Ilahi, bahwasanya manusia mesti melakukan sesuatu untuk kesejahteraan hidupnya.
Ada sejumlah hambatan yang membuat manusia pada umumnya malas untuk mengikhtiarkan sesuatu bagi kemaslahatan hidupnya. Selain takut gagal, juga merasa tidak berpengalaman, takut mencoba, merasa tidak punya pendidikan yang cukup untuk mengerjakan suatu bidang, tidak mengerti, merasa tidak punya modal (uang) yang cukup, ingin terima beres saja, atau memang karena kesukaannya adalah menjadi benalu bagi orang lain. Semua alasan ini bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya terdapat pada diri kita semua, tak terkecuali penderita cacat fisik dan mental, atau orang yang telah uzur sekali pun. Kemalasan menunjukkan satu bukti lagi bahwa dalam mentalitas manusia acap kalah dari hewan. Akibat yang ditimbulkan oleh kemalasan manusia memang pahit, namun tidak sepahit kematian, seperti yang dialami hewan seperti Si Putih Besar.
Pada diri manusia, seperti diungkap oleh Dr. Myles Munroe dalam bukunya, Releasing Your Potential – Menyingkapkan Diri Anda yang Tersembunyi (Jakarta: Penerbit Immanuel, 2007), ‘terperangkap’ potensi-potensi diri yang luar biasa – yang bahkan melampaui bayangan kita tentang apa yang dapat kita lakukan. Potensi-potensi ini menuntut untuk disingkapkan, yaitu melalui tindakan kita, upaya kita, yang berdampak pada diberdayakannya akal dan energi kita. Sekali Anda mengetahui potensi macam apa yang Anda miliki, Anda pun akan seperti saya: merasa aneh bila menyaksikan orang yang malas berusaha karena hambatan-hambatan yang saya sampaikan di atas.
Pada sejumlah agama diajarkan bahwa kemalasan dapat menceburkan umat ke api neraka. Menurut Dr. Munroe, yang kebetulan juga seorang ‘gembala senior’ dari Bahamas Faith Ministries International, dalam ajaran Kristen kemalasan merupakan ciri orang yang tidak beriman. Tulis Dr. Munroe di halaman 102 bukunya: “Iman adalah katalisator yang membuat segalanya terjadi. Iman mengangkat Anda melewati bukti nyata dari hidup Anda dan memberdayakan Anda untuk membawa terang dari kegelapan. Ingatlah, Anda akan menerima apa pun yang Anda percayai. Jika Anda mengharapkan masalah, Anda akan memperolehnya. Jika Anda mempercayai Tuhan dan mengharapkan Dia untuk bekerja di tengah keadaan Anda yang menekan, cepat atau lambat Anda akan melihat bukti dari hadiratNya.”
Dalam agama Islam sebenarnya juga demikian. Bahkan Nabi Muhammad SAW menyabdakan bahwa kerja adalah ibadah. Dengan demikian, seorang muslim yang rajin bekerja dan berusaha bagi kesejahteraan dirinya akan ‘mencium harum surga’. Namun yang senantiasa ditekankan oleh mayoritas guru agama malah sebaliknya, yaitu bahwa orang yang tidak menyantuni (yang hampir selalu diterjemahkan sebagai ‘memberi sedekah dalam bentuk uang’) orang miskin diganjar dengan neraka. Pernyataan ini seolah berpihak kepada kemalasan, karena secara umum telah diketahui bahwa penyebab utama seseorang menjadi miskin adalah kemalasan dirinya! Tidak mengherankan, bila kemudian banyak yang memanfaatkan kesalahkaprahan ini sebagai kesempatan untuk mengemis sumbangan uang dari orang-orang yang mampu secara finansial, baik untuk sekadar makan setiap hari maupun untuk membangun fasilitas pelengkap ibadah. Menyaksikan hal ini, saya membayangkan pelakunya sebelum diceburkan ke api neraka terlebih dahulu dicemplungkan ke laut supaya dimangsa Si Putih Besar.©
1 komentar:
Ya ya
Mungkin lebih enjoynya jika kita bisa mencitai pekerjaan kita
Masalah yang ada sekarang "Mungkinkan kecintaan kita terhadap pekerjaan bisa dipaksakan?"
Salam Oms
Posting Komentar