JANGAN lupa berdo`a untuk Orang Tua !

MENULIS dapat membantu seseorang untuk mengenali diri - mengenali pikiran, perasaan & apapun yang bergejolak di dalam hati --Hernowo--

 

Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Minggu, 21 Oktober 2007

Pernikahan adalah ......

Senin, 09 Juni 2003
Pentingnya Wawasan Kultural Dalam Pernikahan
Almunakahat bisa diartikan pernikahan. Sebagian orang mengistilahkan kawin --istilah yang kedengarannya kurang enak. Kawin, secara bahasa, lebih dekat kepada pengertian hubungan suami-isteri (jima'). Oleh karena itu tidak salah kalau nikah disebut kawin. Adapun istilah yang lebih tepat untuk pernikahan adalah az-zawaaj.

Soal istilah, mungkin setiap orang memiliki persepsi, rasa atau kebiasaan yang berbeda. Namun, kita tidak ingin terjebak dalam polemik soal istilah itu. Di depan kita sendiri menjulang sebuah bangunan yang sangat luhur, megah dan penuh pesona: kehidupan rumah tangga. Sedang satu-satunya portal yang sah untuk sampai ke bangunan itu adalah pernikahan.

Pernikahan adalah anugerah yang amat besar bagi manusia. Agama mendorong kita memakmurkan lembaga pernikahan ini. Hingga sebagai motivatornya, Allah SWT menjamin pemberian dukungan materi atas orang-orang yang sedang berjalan menuju tangga pernikahan: "Jika mereka (orang-orang yang mau menikah dan sudah layak untuk menikah itu) dalam keadaan fakir, maka Allah akan mengayakan mereka dengan karunia-Nya" (QS an-Nuur [24]:32).

Suatu ketika, Umar bin Khattab radhiyallahu anhu berdiri di tengah kerumunan, lalu beliau berkata, lebih-kurang, "Allah akan mengayakan orang-orang yang menikah. Namun aku heran mengapa para pemuda ini enggan melakukannya." Adalah sah, kita punya niatan mencari kekayaan dengan jalan pernikahan, selama sumber kekayaan itu kita sandarkan kepada Kemurahan Allah SWT, bukan kepada kekayaan istri, keluarga atau kerabatnya.

Begitu banyak kebajikan yang akan manusia dapatkan dengan menjalani pernikahan yang benar, sah secara hukum dan sehat secara proses. Dengan pernikahan seseorang mendapatkan teman hidup, pelipur lara, kepuasan seksual, keturunan, kekerabatan, kenikmatan fisik, kebanggaan diri, hiburan-hiburan, kebersamaan, kesetiaan, ilmu, wawasan dan seterusnya.
Tergantung sejauh mana kualitas pernikahan kita. Tapi secara umum, orang-orang yang sudah menikah lebih kaya dibanding milyader manapun yang masih bujang.

Dengan pernikahan juga, manusia menanam dan memeliharan nilai-nilai. Nilai yang sulit ditanam pada orang lain, maka orang tua memiliki hak untuk menanamnya di diri anak-anaknya. Anak-anak pun menjadi khalifah (pengganti) yang diharapkan bisa meneruskan nilai-nilai hak dan makruf yang diikuti orang tua. Wajar, sekali lagi, jika pernikahan yang lurus akan melahirkan orang-orang kaya sejati, walau mereka tidak kaya materi. (Toh, kalau mau jujur, kekayaan itu dibelanjakan juga untuk mencari kebahagiaan, hanya salah meletakkannya saja).

Lembaga-lembaga pernikahan yang alami, lurus, legal dan legitimated adalah sarana penting untuk membangun kehidupan manusia yang berbahagia. Jika mayoritas manusia di bumi berkesempatan menikmati fasilitas ini, betapa indah kehidupan dunia. Hanya sayang, kenyataan kerap kali tidak selaras dengan apa yang diharapkan.

Secara budaya, kehidupan modern adalah hasil rekayasa sosial yang sangat kejam. Para pemikir-pemikir Yahudi mengembangkan budaya-budaya hidup destruktif yang kemudian mengglobal, menjadi acuan seluruh ras manusia di muka bumi, termasuk bangsa-bangsa Muslim. Budaya-budaya itu merusak ras lain tapi secara spesifik menguntungkan ras Yahudi sendiri. Salah satu perkara yang rusak adalah lembaga keluarga, baik di tingkat falsafah, konsep, pemikiran, kultur sosial hingga aplikasi di lapangan. Pemikir-pemikir Yahudi seperti tidak senang jika umat manusia menerima hak wajar mereka.

Jika kita mendengar kasus-kasus seperti enggan menikah, takut menikah, trauma, antipati, penyimpangan pernikahan, kesesatan perilaku, perceraian, selingkuh dan seabreg masalah-masalah buruk seputar pernikahan, semua itu hanya dampak atau imbas belaka. Sedang di balik itu semua ada "aktor intelektual" yang lebih bertanggung-jawab.
Saran kami, sebelum Anda menikah, bekalilah diri dengan wawasan kultural ini biar nanti Anda menemukan performa keluarga sejati, bukan kualitas imbas apalagi dampak. Wallahu a`lam.
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=7&id=127712&kat_id=105&kat_id1=232&kat_id2=285
[Klik disini] [ Baca Juga… ]

Tidak ada komentar: