"Jika kita bijaksana untuk mengambil waktu dalam mendasarkan penilaian kita pada faktor-faktor yang tidak hanya bersifat permukaan, kita akan menemukan sifat sejati dari orang yang bekerja bersama kita atau bertemu dalam suatu lingkungan bisnis, dan dengan siapa kita harus membangun hubungan berdasarkan kepercayaan dan sikap saling menghormati."
-- Danai Chanchaochai, Dhamma Moments (Jakarta: BIP, 2006), hlm. 133.
-- Danai Chanchaochai, Dhamma Moments (Jakarta: BIP, 2006), hlm. 133.
Pada tahun 2002, ketika masih menduduki kursi creative director di sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, saya melayani kebutuhan komunikasi pemasaran satu klien, sebuah perusahaan manufaktur produk perawatan pribadi, PT Sama Asri Lestari (PT SAL). Perusahaan tersebut adalah pemegang merek Japarco (Java Pharmaceutical Company). Di benak generasi pendahulu saya (usia +50 tahun), terutama di Jawa Tengah dan Timur, merek Japarco sangat familiar. Para pria mengolesi rambut mereka dengan krim rambut Japarco agar tampak mengilap, sedangkan kaum wanita menaburi bedak Japarco untuk membuat kulit lebih halus. Tapi untuk generasi sekarang, Japarco hanya menimbulkan kerutan di kening.
Tahun 2002 itu, PT SAL, yang kantor dan pabriknya berlokasi di kawasan Kedung Baruk, Surabaya, itu, ingin memasarkan bedak bayi Japarco. Untuk itu, saya melakukan riset. Hasil riset menunjukkan bahwa selain tidak dikenal, nama merek (brandname) Japarco juga tidak mencerminkan 'kelembutan khas ibu' dari sebuah produk yang menyasar para ibu. Sebagian besar responden bahkan mengira bahwa Japarco itu perusahaan jasa konstruksi atau kontraktor. Dengan alasan itu, saya merekomendasikan agar produsen melakukan upaya rejuvenasi (peremajaan) merek: produk disasar ke segmen yang lebih muda dan nama merek diganti menjadi sesuatu yang mencitrakan keibuan, kelembutan, dan modernitas, sedangkan 'Japarco' dicantumkan sebagai umbrella brand dari seluruh rangkaian produk perawatan pribadi yang dimanufaktur PT SAL.
Rupanya, pihak PT SAL, dalam hal ini manajer penjualannya, keberatan untuk melaksanakan rekomendasi saya tersebut, karena anggarannya diperkirakan akan sangat besar dan penyelenggaraannya akan sulit dikoordinasi -- padahal biro iklannya yang akan merancang, mengoordinasi dan mengeksekusi penyelenggaraannya. "Ada cara yang lebih gampang supaya produk kami bisa terjual habis, Pak Anto?" tanya si manajer penjualan PT SAL dengan sikap yang, menurut saya, tidak menunjukkan keahlian sesuai jabatannya. Dengan gaya santai yang menjadi kekhasan saya setiap kali menghadapi klien yang melontarkan komentar atau pertanyaan bodoh, saya menjawab, "Ooh ada, Pak. Gampang banget." Saya usul supaya kemasannya diganti dengan atau produk bedaknya dimasukkan ke dalam kemasan berlabel Johnson & Johnson atau Cussons. "Dengan begitu, Pak, bedak yang menumpuk di pabrik bisa ludes terjual."
Meski tersenyum kecut, si manajer penjualan membenarkan pendapat saya. Ia tiba-tiba menyadari bahwa mereklah yang kini mengendalikan keputusan pembelian.
Sadar atau tidak, merek telah menyelimuti atmosfer ruang publik maupun ruang privat kita. Konsumerisme yang acap dikhawatirkan sebagai ancaman terhadap kehidupan sosial lebih disebabkan oleh merek ketimbang produk yang menyandangnya. Yang saya maksud sebagai 'merek' di sini bukan sebatas nama/label etiket yang menempel pada barang-barang konsumen atau produk-produk industrial yang dibuat untuk mencapai tujuan pemasaran komersial, melainkan merek dalam pemaknaan yang luas, yaitu segala sesuatu yang melekat pada diri dan lingkungan kita yang dinamai dan dianggap secara kodrati merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri kita.
Dewasa ini, di tengah masyarakat yang menjunjung privilese dan gengsi, merek mengalahkan fungsi sejati suatu benda. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menyaksikan betapa merek memiliki pengaruh yang kuat atas sikap pribadi seseorang walaupun sesungguhnya sikap itu cukup memalukan. Dalam suatu acara televisi, diperlihatkan lima gelas dituangi wine dari satu merek tertentu, lalu pada masing-masing gelas ditempeli label dari lima merek wine yang berbeda satu sama lain. Kemudian, secara bergiliran, orang-orang dipersilakan mencicipi wine di tiap-tiap gelas dan memberi komentar tentang rasa masing-masing. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebuah kamera video tersembunyi merekam tingkah laku mereka. Yang diperkirakan si pembuat acara ternyata terbukti: setiap orang memberi komentar-komentar berbeda tentang rasa dari setiap wine yang ada di masing-masing gelas. "Yang ini rasanya manis. Yang ini agak asam, ya? Wah, kalau yang ini pas untuk saya -- Moet, sih!" Moet adalah merek wine terkenal, sementara isi sesungguhnya dalam gelas-gelas itu adalah wine murahan bermerek gurem.
Hal serupa pernah dilakukan Pepsi terhadap konsumen dari musuh bebuyutannya, Coca Cola. Sejumlah penggemar fanatik Coca Cola diundang untuk minum -- tanpa sepengetahuan mereka -- Pepsi yang dituang ke dalam gelas karton Coca Cola. Mereka semua memuji-muji rasa nikmat Coca Cola, dan langsung berang ketika akhirnya diberitahu bahwa yang mereka tenggak sebenarnya adalah Pepsi. Dari situ, pihak Pepsi tahu bahwa orang memilih Coca Cola bukan karena rasanya yang nikmat menyegarkan, melainkan karena merek Coca Cola sudah demikian merasuki diri mereka!
Merek diciptakan untuk membedakan produk yang satu dengan yang lain, walaupun berasal dari kategori produk yang sama atau bahkan memiliki kandungan yang sama. Perancangan nama merek ditentukan oleh pelbagai aspek; bisa oleh latar belakang visi, misi dan nilai produk, ancangan (positioning), atau sekadar sifat produknya. Bagi produk komersial, merek sudah biasa digunakan dan sah-sah saja diperlakukan sebagai alat persaingan pasar. Tapi kini segala sesuatu menyangkut pernak-pernik kehidupan sosial kita pun, yang sejatinya bebas dari pemerekan, banyak pula yang diacak-acak oleh eksistensi merek-merek atau identitas (penjabaran merek menjadi 'wajah' lahiriah korporat/produk, seperti kemasan, desain produk, seragam tenaga penjualan, kendaraan operasionalnya, dan lain-lain) seakan pernak-pernik tersebut merupakan barang komersial yang wajib dibedakan dari yang lain.
Baru-baru ini, ketika menuntaskan peng-Inggris-an naskah laporan tahunan salah satu klien saya, secara spontan saya berseru, "Alhamdulillah wa syukrillah!" Klien saya yang saat itu duduk di sebelah saya berkomentar lugu, "Ooh, Mas Anto Islam ya? Kok nggak kelihatan Islam?!" Saya sempat terkejut mendengar pernyataan klien saya itu, tapi kemudian dengan bercanda saya mengangkat kedua tangan saya seperti berdoa dan berkata, "Ya Tuhan, terima kasih karena aku nggak kelihatan Islam!"
Bagaimana sih sebenarnya ciri-ciri keagamaan seorang umat beragama? Hal itu pernah dipersoalkan oleh narasumber dalam acara Keluarga Islami, yang disiarkan Ramako 105,8FM, setiap Kamis malam, setelah seorang penelepon menyinggung masalah aktivitas spiritual yang dianggapnya bertentangan dengan 'masyarakat agamis'. Si penelepon kebingungan sendiri setelah si narasumber bertanya tentang tolok ukurnya atas segala sesuatu yang dimerekkan sebagai 'agamis' atau 'islami'. Apakah nama yang berbau ke-Arab-an? Apakah baju koko dan peci atau jilbab? Atau jenggot? Atau selalu terlihat salat? (Salah-salah, malah dianggap pamer.) Si penelepon akhirnya terjebak oleh penilaiannya sendiri.
Kenalan saya di Surabaya, seorang Katolik, mengaku kecele setelah sempat menganggap semua tulisan Arab adalah monopoli agama Islam, tapi ketika berziarah ke gereja-gereja di Timur Tengah ia menjumpai Alkitab yang ditulis dalam aksara Arab dan berbahasa Arab pula. Ada pula teman saya, seorang muslim, yang menganggap bahasa Arab lebih afdol digunakan dalam berdoa karena itulah 'bahasa Islam'; ia pun kecele setelah disodori satu kalimat berbahasa Arab oleh teman saya yang lain, seorang sarjana sastra Arab; kalimat itu sekilas mirip doa (kita yang tidak menguasai bahasa Arab tidak akan tahu bedanya), tapi sebenarnya kalimat itu menjabarkan adegan ranjang, yang dikutip oleh teman saya yang sarjana sastra Arab itu dari sebuah roman picisan dari Saudi Arabia!
Tidak sedikit umat beragama/pengikut jalan spiritual yang kerasukan merek agama/organisasi spiritualnya, dan menempelkan pada diri mereka atribut-atribut simbolik untuk menyatakan diri berbeda, bahkan lebih istimewa, dari yang lain. Padahal 'isi'-nya (baca: Tuhan-nya) sama; yang berbeda hanyalah cara bertuhannya. Persaingan antar-merek komersial yang gila-gilaan dalam memperebutkan pasar, di mana yang satu mengklaim produknya lebih unggul daripada yang lain saja bisa tanpa mematikan eksistensi yang lainnya, lha kok antar-umat beragama, yang notabene manusia yang beraga, berjiwa dan berakal bisa-bisanya saling menzalimi, sampai menimbulkan korban jiwa?!
Mengenai sikap dan perilaku agamis, kisah Siti Aisyah r.a. dapat diteladani -- itu jika Anda tidak kerasukan merek agama Anda sendiri, apabila Anda non-muslim. Suatu ketika, istri Nabi Muhammad SAW itu melihat seorang pria berjalan lemah gemulai, mulutnya komat-kamit tak jelas, dan menyapa siapa pun yang berpapasan dengannya dengan suara yang dilembut-lembutkan. Siti Aisyah bertanya pada sahabat tentang tingkah pria itu. Sahabat menjawab, "Dia begitu karena dia orang yang rajin beribadah." Siti Aisyah berkomentar, "Ah, Umar ibn Khattab jauh lebih rajin ibadahnya daripada kalian semua, tapi suaranya tetap lantang dan sabetan pedangnya tetap garang!" Moral dari kisah ini adalah bahwa seyogianya kita tetap menjadi diri sendiri, bebas dari kemelekatan pernak-pernik yang bukan merupakan bagian azali dari diri kita.
Jadi, jika Anda mulai merasa kerasukan merek atau identitas yang berasal dari luar diri sejati Anda, dan efeknya malah mempermalukan diri Anda sendiri seperti para pencicip wine di atas, jangan buru-buru pergi ke dukun pengusir setan. Anda cukup menjadi diri sendiri.[]
Jakarta, 25 Maret 2008, pk. 23.18
Salam,
ANTO DWIASTORO SLAMET
Tahun 2002 itu, PT SAL, yang kantor dan pabriknya berlokasi di kawasan Kedung Baruk, Surabaya, itu, ingin memasarkan bedak bayi Japarco. Untuk itu, saya melakukan riset. Hasil riset menunjukkan bahwa selain tidak dikenal, nama merek (brandname) Japarco juga tidak mencerminkan 'kelembutan khas ibu' dari sebuah produk yang menyasar para ibu. Sebagian besar responden bahkan mengira bahwa Japarco itu perusahaan jasa konstruksi atau kontraktor. Dengan alasan itu, saya merekomendasikan agar produsen melakukan upaya rejuvenasi (peremajaan) merek: produk disasar ke segmen yang lebih muda dan nama merek diganti menjadi sesuatu yang mencitrakan keibuan, kelembutan, dan modernitas, sedangkan 'Japarco' dicantumkan sebagai umbrella brand dari seluruh rangkaian produk perawatan pribadi yang dimanufaktur PT SAL.
Rupanya, pihak PT SAL, dalam hal ini manajer penjualannya, keberatan untuk melaksanakan rekomendasi saya tersebut, karena anggarannya diperkirakan akan sangat besar dan penyelenggaraannya akan sulit dikoordinasi -- padahal biro iklannya yang akan merancang, mengoordinasi dan mengeksekusi penyelenggaraannya. "Ada cara yang lebih gampang supaya produk kami bisa terjual habis, Pak Anto?" tanya si manajer penjualan PT SAL dengan sikap yang, menurut saya, tidak menunjukkan keahlian sesuai jabatannya. Dengan gaya santai yang menjadi kekhasan saya setiap kali menghadapi klien yang melontarkan komentar atau pertanyaan bodoh, saya menjawab, "Ooh ada, Pak. Gampang banget." Saya usul supaya kemasannya diganti dengan atau produk bedaknya dimasukkan ke dalam kemasan berlabel Johnson & Johnson atau Cussons. "Dengan begitu, Pak, bedak yang menumpuk di pabrik bisa ludes terjual."
Meski tersenyum kecut, si manajer penjualan membenarkan pendapat saya. Ia tiba-tiba menyadari bahwa mereklah yang kini mengendalikan keputusan pembelian.
Sadar atau tidak, merek telah menyelimuti atmosfer ruang publik maupun ruang privat kita. Konsumerisme yang acap dikhawatirkan sebagai ancaman terhadap kehidupan sosial lebih disebabkan oleh merek ketimbang produk yang menyandangnya. Yang saya maksud sebagai 'merek' di sini bukan sebatas nama/label etiket yang menempel pada barang-barang konsumen atau produk-produk industrial yang dibuat untuk mencapai tujuan pemasaran komersial, melainkan merek dalam pemaknaan yang luas, yaitu segala sesuatu yang melekat pada diri dan lingkungan kita yang dinamai dan dianggap secara kodrati merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri kita.
Dewasa ini, di tengah masyarakat yang menjunjung privilese dan gengsi, merek mengalahkan fungsi sejati suatu benda. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menyaksikan betapa merek memiliki pengaruh yang kuat atas sikap pribadi seseorang walaupun sesungguhnya sikap itu cukup memalukan. Dalam suatu acara televisi, diperlihatkan lima gelas dituangi wine dari satu merek tertentu, lalu pada masing-masing gelas ditempeli label dari lima merek wine yang berbeda satu sama lain. Kemudian, secara bergiliran, orang-orang dipersilakan mencicipi wine di tiap-tiap gelas dan memberi komentar tentang rasa masing-masing. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebuah kamera video tersembunyi merekam tingkah laku mereka. Yang diperkirakan si pembuat acara ternyata terbukti: setiap orang memberi komentar-komentar berbeda tentang rasa dari setiap wine yang ada di masing-masing gelas. "Yang ini rasanya manis. Yang ini agak asam, ya? Wah, kalau yang ini pas untuk saya -- Moet, sih!" Moet adalah merek wine terkenal, sementara isi sesungguhnya dalam gelas-gelas itu adalah wine murahan bermerek gurem.
Hal serupa pernah dilakukan Pepsi terhadap konsumen dari musuh bebuyutannya, Coca Cola. Sejumlah penggemar fanatik Coca Cola diundang untuk minum -- tanpa sepengetahuan mereka -- Pepsi yang dituang ke dalam gelas karton Coca Cola. Mereka semua memuji-muji rasa nikmat Coca Cola, dan langsung berang ketika akhirnya diberitahu bahwa yang mereka tenggak sebenarnya adalah Pepsi. Dari situ, pihak Pepsi tahu bahwa orang memilih Coca Cola bukan karena rasanya yang nikmat menyegarkan, melainkan karena merek Coca Cola sudah demikian merasuki diri mereka!
Merek diciptakan untuk membedakan produk yang satu dengan yang lain, walaupun berasal dari kategori produk yang sama atau bahkan memiliki kandungan yang sama. Perancangan nama merek ditentukan oleh pelbagai aspek; bisa oleh latar belakang visi, misi dan nilai produk, ancangan (positioning), atau sekadar sifat produknya. Bagi produk komersial, merek sudah biasa digunakan dan sah-sah saja diperlakukan sebagai alat persaingan pasar. Tapi kini segala sesuatu menyangkut pernak-pernik kehidupan sosial kita pun, yang sejatinya bebas dari pemerekan, banyak pula yang diacak-acak oleh eksistensi merek-merek atau identitas (penjabaran merek menjadi 'wajah' lahiriah korporat/produk, seperti kemasan, desain produk, seragam tenaga penjualan, kendaraan operasionalnya, dan lain-lain) seakan pernak-pernik tersebut merupakan barang komersial yang wajib dibedakan dari yang lain.
Baru-baru ini, ketika menuntaskan peng-Inggris-an naskah laporan tahunan salah satu klien saya, secara spontan saya berseru, "Alhamdulillah wa syukrillah!" Klien saya yang saat itu duduk di sebelah saya berkomentar lugu, "Ooh, Mas Anto Islam ya? Kok nggak kelihatan Islam?!" Saya sempat terkejut mendengar pernyataan klien saya itu, tapi kemudian dengan bercanda saya mengangkat kedua tangan saya seperti berdoa dan berkata, "Ya Tuhan, terima kasih karena aku nggak kelihatan Islam!"
Bagaimana sih sebenarnya ciri-ciri keagamaan seorang umat beragama? Hal itu pernah dipersoalkan oleh narasumber dalam acara Keluarga Islami, yang disiarkan Ramako 105,8FM, setiap Kamis malam, setelah seorang penelepon menyinggung masalah aktivitas spiritual yang dianggapnya bertentangan dengan 'masyarakat agamis'. Si penelepon kebingungan sendiri setelah si narasumber bertanya tentang tolok ukurnya atas segala sesuatu yang dimerekkan sebagai 'agamis' atau 'islami'. Apakah nama yang berbau ke-Arab-an? Apakah baju koko dan peci atau jilbab? Atau jenggot? Atau selalu terlihat salat? (Salah-salah, malah dianggap pamer.) Si penelepon akhirnya terjebak oleh penilaiannya sendiri.
Kenalan saya di Surabaya, seorang Katolik, mengaku kecele setelah sempat menganggap semua tulisan Arab adalah monopoli agama Islam, tapi ketika berziarah ke gereja-gereja di Timur Tengah ia menjumpai Alkitab yang ditulis dalam aksara Arab dan berbahasa Arab pula. Ada pula teman saya, seorang muslim, yang menganggap bahasa Arab lebih afdol digunakan dalam berdoa karena itulah 'bahasa Islam'; ia pun kecele setelah disodori satu kalimat berbahasa Arab oleh teman saya yang lain, seorang sarjana sastra Arab; kalimat itu sekilas mirip doa (kita yang tidak menguasai bahasa Arab tidak akan tahu bedanya), tapi sebenarnya kalimat itu menjabarkan adegan ranjang, yang dikutip oleh teman saya yang sarjana sastra Arab itu dari sebuah roman picisan dari Saudi Arabia!
Tidak sedikit umat beragama/pengikut jalan spiritual yang kerasukan merek agama/organisasi spiritualnya, dan menempelkan pada diri mereka atribut-atribut simbolik untuk menyatakan diri berbeda, bahkan lebih istimewa, dari yang lain. Padahal 'isi'-nya (baca: Tuhan-nya) sama; yang berbeda hanyalah cara bertuhannya. Persaingan antar-merek komersial yang gila-gilaan dalam memperebutkan pasar, di mana yang satu mengklaim produknya lebih unggul daripada yang lain saja bisa tanpa mematikan eksistensi yang lainnya, lha kok antar-umat beragama, yang notabene manusia yang beraga, berjiwa dan berakal bisa-bisanya saling menzalimi, sampai menimbulkan korban jiwa?!
Mengenai sikap dan perilaku agamis, kisah Siti Aisyah r.a. dapat diteladani -- itu jika Anda tidak kerasukan merek agama Anda sendiri, apabila Anda non-muslim. Suatu ketika, istri Nabi Muhammad SAW itu melihat seorang pria berjalan lemah gemulai, mulutnya komat-kamit tak jelas, dan menyapa siapa pun yang berpapasan dengannya dengan suara yang dilembut-lembutkan. Siti Aisyah bertanya pada sahabat tentang tingkah pria itu. Sahabat menjawab, "Dia begitu karena dia orang yang rajin beribadah." Siti Aisyah berkomentar, "Ah, Umar ibn Khattab jauh lebih rajin ibadahnya daripada kalian semua, tapi suaranya tetap lantang dan sabetan pedangnya tetap garang!" Moral dari kisah ini adalah bahwa seyogianya kita tetap menjadi diri sendiri, bebas dari kemelekatan pernak-pernik yang bukan merupakan bagian azali dari diri kita.
Jadi, jika Anda mulai merasa kerasukan merek atau identitas yang berasal dari luar diri sejati Anda, dan efeknya malah mempermalukan diri Anda sendiri seperti para pencicip wine di atas, jangan buru-buru pergi ke dukun pengusir setan. Anda cukup menjadi diri sendiri.[]
Jakarta, 25 Maret 2008, pk. 23.18
Salam,
ANTO DWIASTORO SLAMET
"Happiness is not in the mere possession of money; it lies in the joy of achievement, in the thrill of creative effort." (Franklin Delano Roosevelt)