JANGAN lupa berdo`a untuk Orang Tua !

MENULIS dapat membantu seseorang untuk mengenali diri - mengenali pikiran, perasaan & apapun yang bergejolak di dalam hati --Hernowo--

 

Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Selasa, 16 Desember 2008

RumaH pUTIH

Irasionalitas Bangsa

June 24, 2008

Di televisi, irasionalitas bangsa ini ditunjukkan dengan jelas sekali. Irasionalitas yang justru diakui dan ditulari mereka yang menyandang gelar akedemik tinggi. Memprihatinkan sekali.

“Akhirnya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melaporkan Djoko Suprapto terkait kasus penipuan pembangkit listrik Jodhipati dan energi alternatif Banyugeni.”

Itulah narasi yang tayang di “Buletin Malam” RCTI, Selasa (17/6) malam. Dalam tayangan itu tampak proses pembongkaran pembangkit listrik mandiri Jodhipati, berupa cor-coran semen tebal, dengan beragam kabel yang terurai. Dan “pembangkit” itu diakui tim ahli dari UMY, tidak akan mungkin dapat menghasilkan energi listrik. Padahal, untuk proyek itu, UMY telah setuju mengeluarkan dana Rp 1,34 miliar. Angka yang luar biasa. Saya menggelengkan kepala.Pindah saluran ke Anteve, di acara ulangan “Perspektif Wimar”, tampil Menristek Kusmayanto Kadiman, yang menjelaskan tentang blue energi. Berkali-kali Wimar menggoda Kusmayanto, sebagai pencuci piring dari atasannya, SBY. Wimar menilai SBY begitu panik dengan krisis energi, dan menempuh cara yang tak lazim.

Namun Kusmayanto membantah. “Menurut Einstein, seorang dinilai ilmuwan jika memulai sesuatu dengan ide yang paling gila sekalipun.”

Wimar tertawa. “Iya, tapi kan Presiden tidak boleh punya ide gila, Pak.” Meisya Siregar, co-host Wimar, tergelak. Saya juga, menggelengkan kepala melihat kecerdasan Wimar memasukkan “perspektifnya”.

Ketika jeda iklan, saya kembali ke RCTI, ternyata juga iklan. Tertayang Mama Lauren. “Nasib tak dapat diubah, tapi saya…” Bosan ah! Saya kembali ke Anteve. Walah! Sama saja. Tayang iklan Mbah Roso. “Ketik REG sepasi MANJUR, kirim ke 98…” Segera saya pindah saluran, memilih TVOne. Lho, siapa yang gondrong itu? Oalah, Ki Joko Bodo, yang meminta pemirsa mengirim SMS. “Ketik REG spasi MANTRA, kirim ke…”

Ya Tuhan…

“Tundukkanlah hatimu ketika malam, bersama embun yang turun perlahan. Renungkan hari yang telah kau jalani. Dalam letih tubuh, rasa akan lebih mampu merasa. Pikiran akan lebih jernih mencerna.” Saya lupa, di mana membaca ucapan Gde Prama itu. Intinya, malam adalah “ruang” yang tercipta untuk menemukan terang dan cahaya. Tapi, melihat “nasib” saya ketika mengubah saluran teve, saya justru seperti didudukkan dalam kelam. Tanpa sengaja, saya melihat kaitan yang luar biasa dari perpindahan acara dan iklan di berbagai stasiun itu. Sepanjang Selasa malam itu, sedari pukul 23.00, saya melihat lebih dari 6 kali iklan Ki Joko Bodo, lebih dari 5 kali iklan Mbah Roso dan Mama Lauren. Semuanya berjenis ramalan, mulai dari primbon, sampai telaah wong sinthing. Malam itu memang hanya tayang tiga jenis iklan, tapi saya tahu, jauh sebelumnya telah ada Madame Sahara, Dedy Corbuzier, sampai Safir Senduk. Ramalan atau motivasi yang diiklankan mampu untuk mengubah nasib atau kondisi keuangan seseorang.

Dan iklan itu sukses. Ketika awal-awal tayang, “Ada 70.000 SMS dalam dua minggu. Sehari tayang di lima stasiun televisi,” ujar Ki Joko Bodo. Artinya, selama dua pekan, dari iklan itu terhimpun dana Rp 140 juta! Jadi, ramalam itu secara pasti bukan mengubah nasib pengirim SMS, melainkan peramalnya.

Ramainya peminat Ki Joko Bodo, –apalagi jika menghitung SMS untuk Mama Lauren, Madame Sahara, Mbah Roso– menunjukkan masih kuatnya alam mitis berkuasa di kepala masyarakat kita. Sebuah ironi, terutama jika melihat bagaimana kemitisan dan keirasionalan itu, masuk dan merasuk, melalui teknologi. Barangkali, inilah wujud kekalahan yang paling utama teknologi melawan mitologi. Sebagai produk “kerasionalan”, teknologi justru tunduk dan menjadi penyebar dari keirasionalan. Aneh bin ajaib.

Lebih ajaib bin muskil lagi, ketaklukan itu juga sampai kepada para penemu teknologi, mereka yang menghabiskan hidupnya dalam “jajahan” rasionalitas. Proyek Banyugeni di UMY misalnya, melibatkan sekian ahli hanya untuk mengamini “mimpi” Djoko Suprapto, mengubah air menjadi api. Rektor UMY Dr Khoiruddin Bashori bahkan pernah begitu bangga dengan proyek ini, sampai mematenkan, dan “memainkan” berbagai ayat al-Quran, untuk pembenaran, “At-Thur ayat 6, yang berbunyi, ‘perhatikan laut yang berapi’. Al-Anbiya’ ayat 30, ‘dan Kami jadikan dari air segala sesuatu hidup’, dan At-Takwir ayat 6, ‘dan apabila laut dipanaskan’.” Tuhanku….

Kampus, tempat seharusnya rasionalitas ditegakkan, justru menjadi ajang promosi irasionalitas dan kemuskilan. Mengamini dan membiayai “mimpi” tanpa pengedepanan sikap ilmuwan. Itu sudah menjadi kiamat kecil untuk jagad keilmuwanan. Tapi, kiamat besar itu juga datang, ketika Presiden SBY, dengan bangga, menerima Tim Blue Energy yang telah melakukan perjalanan darat Jakarta-Denpasar sepanjang 1.225,7 km dengan lima kendaraan berbahan bakar energi alternatif “blue energy”, di Nusa Dua, Bali, tempat United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) 2007. Tim itu diketuai Heru Lelono, Staff Khusus Presiden SBY, dan “pabrik” energi “khayal” Djoko Suprapto itu didirikan di Cikeas, dekat rumah SBY. Artinya, keirasionalan itu bahkan sudah memasuki dan mendapat promosi kelembagaan negara yang tertinggi. Mengerikan sekali. Apalagi, ketika Kusmayanto sempat tidak setuju dan mempertanyakan “blue energi” itu, oleh Presiden, sebagaimana dicatat Tempo, dia malah diminta diam. Dan menteri yang pernah menjadi rektor ITB itu, yang diminta diam itu, kini harus menjelaskan atau “merasionalisasikan” keirasionalan pimpinannya. “Anda bagian cuci-cuci piring, ya?” sindir Wimar.

Selasa malam itu, setelah melihat semua yang tayang di televisi, saya menjadi takut, jangan-jangan, bangsa ini tak bisa diselamatkan lagi.

[Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Minggu 22 Juni 2008]
http://rumahputih.net

Tidak ada komentar: